Home » , , » Tandjung ririh, kaya pengrawit cilik

Tandjung ririh, kaya pengrawit cilik

Written By Harian Semarang on Sabtu, 05 November 2011 | 08.07

DI zaman  sekarang sepertinya tidak banyak warga yang mencintai karawitan. Apalagi anak muda. Kebanyakan dari mereka lebih menyukai musik modern alias musik dari barat. Tapi tidak bagi siswa Sekolah Dasar (SD) Negeri Gisikdrono 03, Semarang Barat. Di bawah nama grup karawitan Tandjung Ririh inilah mereka sengkuyung, gojeg sekaligus hikmat dalam memainkan tetabuhan gamelan.

Mereka dikenalkan betapa pentingnya mencintai kebudayaan Jawa sejak pendidikan dasar. Tak heran jika di tengah gegap gempita modernisasi, sebenarnya SD Negeri Gisikdrono 03 tersebut justru kaya waranggana dan wiraswara cilik.

Belajar kesenian daerah bernama karawitan, tentu bukan perkara mudah. Namun juga bukan hal yang tidak mungkin, jika anak-anak terlihat pandai bermain musik gamelan. Tentu ini butuh kerja keras dalam upaya melestarikan budaya Jawa yang konon adiluhung itu. Di sanggar minimalis bentukan guru inilah, terlihat puluhan siswa dari berbagai kelas. Mereka tampak sumringah berlatih kesenian karawitan tanpa lelah.

“Kami berlatih seminggu dua kali, yakni Kamis dan Jum’at Sore,” ujar Kepala Sekolah SD Negeri Gisikdrono 03 Sutari selaku pembina karawitan Tandjung Ririh, didampingi sang pelatih, Mariyanto, kemarin.

Rutinitas ini tergolong langka dan unik. Pasalnya, seni karawitan selama ini lebih dikenal dan dimainkan oleh kalangan orang dewasa atau orang tua. Bahkan cenderung dijauhi oleh anak muda. Namun di SD Gisikdrono 03 nyaris semua siswa mahir memainkan dan menabuh alat musik dari bahan logam dan kayu tersebut. Mereka sangat antusias dan sangat menikmati permainan musik khas Jawa ini.

“Kami berusaha mengenalkan dari awal, dan benar-benar dari nol. Mulai mengenalkan not angka dan cara membacanya,” terang Mariyanto.

Lebih lanjut dijelaskannya, setelah not angka terpampang di partitur, kemudian mereka berlatih membacanya.“Tidak hanya itu, sebelumnya kami mengenalkan nama masing-masing alat dan bagaimana cara membunyikannya. Meski kadang merasa keculitan membaca not karena tingkat kesulitan setiap hari bertahap dan semakin meningkat. Namun mereka tetap berlatih memelajari budaya bangsa yang sangat indah ini,” tambahnya.

Jangan Sampai Luntur
Pihak sekolah sengaja mengenalkan seni karawitan ini dari awal. Hal ini sebagai upaya untuk melestarikan budaya bangsa yang mulai luntur peminatnya terlebih di kalangan anak muda. Dikatakan Mariyanto, sejak dari awal berdirinya grup karawitan Tandjung Ririh pada 2000, ia baru mempunyai alat gamelan lengkap sejak 2008.

“Seni karawitan memang diperlukan alat musik yang cukup banyak. Di antaranya bonang barung, bonang panerus, kenong, kempul, kethuk, saron, gambang, gender, gong, rebab, gender, siter, demung, peking, kendang dan suling,” katanya.

Semua alat tersebut harus dimainkan secara harmonis, indah dan rancak. Kata Mariyanto, para penabuh gamelan dalam seni karawitan biasa disebut pengrawit, sedangkan penyanyi perempuan disebut waranggana dan yang laki-laki disebut wiraswara. Karena pesertanya masih anak-anak, maka dapat disebut, pengrawit cilik dan waranggana cilik.

Cengkok Jawa Sulit
Dalam proses penggarapan, Mariyanto mengaku, dalam menata komposisi grup yang terdiri 21 personel itu paling sulit adalah menata vokal. Cengkok lagu Jawa mempunyi tingkat kesulitan yang tinggi daripada lagu-lagu pop sekarang. Tekhnik vokal dari cengkok lagu Jawa butuh proses panjang mengolahnya. “Apalagi di sekolah ini masa aktif siswa hanya 3 tahun, yakni sejak kelas 3 hingga kelas 5 saja. Kelas 6 sudah inten jelang ujian. Begitu personel keluar, kita mencari bibit lagi,” katanya.

Namun yang lebih cepat, kata dia, adalah pengenalan alat terlebih dahulu. “Siswa dikenalkan masing-masing alat berikut cara memukulnya. Kemudian mengenalkan nada slendro maupun pelog. Jika slendro tidak ada angka 7 dan 4. Namun jika pelog sebaliknya ada angka 7 dan angka 4,” jelas pria alumni IKIP PGRI ini. 

Sutari menimpali, lahirnya grup karawitan Tandjung Ririh ini merupakan angin segar untuk melestarikan kesenian dan kebudayaan Jawa. Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan membentuk karakter bangsa timur yang sopan dan menghindarkan anak-anak dari pengaruh buruk teknologi modern.

"Semarang terkenal kota yang panas dan kota berkembang. Di mana modernisasi terus melaju bersama peradaban. Maka sebagai benteng kepada generasi muda adalah mengajarkan seni karawitan ini yang sertamerta memelajari tata cara dan karakter bangsa dalam kehidupan sehari-hari yang lembut," terang Sutari.

Karena itu, keberadaan anak-anak ini harus terus dibina agar budaya bangsa tidak punah. Apalagi, siswa-siswi SD ini juga sering tampil pada pertunjukan ketoprak di hari-hari penting nasional di lingkungan sekolah mereka maupun beberapa undangan pentas partisipan. Tentu ini merupakan potensi yang luar biasa bagi Kota Semarang, meski kata dia belum pernah mendapat anggaran dalam pelaksanaan pendidikan kebudayaan ini. (abdul mughis/rif)



Share this article :

Posting Komentar

Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HARIAN SEMARANG - Ragam - All Rights Reserved
Template Created by Mas Fatoni Published by Tonitok
Proudly powered by Blogger