Tiba-tiba saja salah satu sudut di Sunan Kuning, malam itu, menjadi meriah. Gelak tawa, celoteh lepas, dan aneka ekspresi marginal terlontar. Ada apa gerangan?
Teater paling solid di Semarang, Teater Lingkar, memang tengah mementaskan salah satu lakon yang pas dengan keseharian masyarakat di kawaasn itu, lengkap dengan hiruk pikuk problematika sosialnya.
Secara kultural, penghuni Kompleks Resosialiasi Argorejo yang dikenal dengan Sunan Kuning, memang tak beda jauh dengan naskah Tuk, karya Bambang Widoyo, yang dipentaskan malam itu. Meski tak sama persis, setidaknnya sama-sama ada dimensi marginalitasnya.
Selain perempuan penjaja cinta, di Kompleks Argorejo juga hidup berbagai profesi dan kehidupan masyarakat kelas bawah, seperti tukang tambal ban, tukang jahit, bakul, tukang pijat, juga buruh serabutan.
Tak pelak, saat Teater Lingkar mementaskan naskah Tuk, suasana ger-geran kental terasa selama pentas berlangsung di Gang VI, depan Griya Asa, pekan lalu. Penonton bak mentertawakan diri sendiri menyikapi adegan demi adegan yang sekiranya pas dengan dirinya.
Seperti saat seorang istri marah-marah pada suaminya yang ketahuan selingkuh. Dan di puncak kemarahannya, sang istri sampai minggat dari rumah kontrakan. Bersamaan itu terdengar celetukan dari penonton "Ora popo, melu aku wae tak dadekke PK (pemandu karaoke)”. Lagi-lagi penonton pun terpingkal-pingkal.
Kebetulan, naskah yang menceritakan kehidupan kaum pinggiran ini memang sarat umpatan-umpatan kasar yang tidak asing di telinga masyarakat Argorejo. Praktis, pementasan kali ini terasa hangat dan apresiatif. Penonton tampak sangat akrab dan gampang mencerna alur cerita.
"Banyak di antara wanita penjaja cinta di Argorejo sebenarnya berlatar belakang seniman. Ada yang penyanyi, pesinden, pemain ketoprak, dan lainnya. Makanya mereka begitu apresiatif. Makanya kami ingin kolaborasi dengan Teater Lingkar di kesempatan mendatang, misalnya mementaskan sebuah naskah," ujar Ari, dedengkot LSM Asa milik PKBI, yang memprakarsai pementasan itu.
Tuk sendiri mengisahkan hiruk pikuk warga yang tak jauh dari sebuah tuk (sumber air yang dibangun menjadi sebuah sumur) kampung.
Suara riang anak-anak dan gumam ibu-ibu berbincang di emperan rumah selalu menjadi pengisi hari. Lengkap dengan menu perselisihan, persekongkolan, perselingkuhan, yang selalu mengisi keseharian hidup. Semua itu terjadi tak jauh dari tuk.
Di tengah itu, keceriaan warga terusik dengan rencana penggusuran akibat kerakusan pembangunan kota. Pro kontra warga pun muncul. Tak sedikit di antara mereka sepakat, berharap ganti rugi bisa menjadi modal membangun kehidupan 'baru' yang lebih baik. Meski ada juga yang menolaknya.
Mbah Kamit salah satunya, wanita tua yang selama hidupnya tinggal di kampung itu, selalu menjalani hidup dengan berbagai problem sosialnya, seolah tampil sebagai simbol nasionalisme.
Sosoknya tegas, menegaskan bahwa perselisihan, sengketa, konflik, perebutan, dan masalah apapun, selalu terjadi tak jauh dari tuk (yang jadi simbol wilayah basah, termasuk urusan pekerjaan yang dianggap lahan basah).
Mbah Kawit pun muncul menjadi penentang rencana digusurnya kompleks perkampungan itu, yang kabarnya akan didirikan mal di kawasan itu. Namun entah karena apa, Mbah kawit pun kalah. Kompleks perkampungannya terbakar. Bahkan Mbah Kawit ikut mati terbakar.
"Mbah Kawit mewakili nasionalisme kedaerahan, yakni menentang bentuk penindasan kelompok. Dia sosok wanita berani," ujar Mas Ton, Ketua Teater Lingkar, mengomentari lakon itu.
Yang pasti, Tuk dan Sunan Kuning, melengkapi eksistensi Teater Lingkar yang terus menjadi kebanggaan warga Semarang dan Jawa Tengah itu. (a. rizal)
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.