DIAKUI atau tidak, merebaknya penggunaan situs jejaring sosial Facebook di dunia internet membawa dampak perubahan yang berarti di segala lini peradaban. Tak terkecuali dunia kesusasteraan. Tentu saja ada risiko yang mengikuti di belakangnya, segala dampak positif maupun negatif tak pelak menguntit kemudian.
Beberapa pihak menilai, untuk sastra, internet adalah tong sampah alias tempat membuang apa saja. Saut Situmorang juga mengatakan bahwa sastra internet hingga saat ini masih belum diakui keberadaannya. Barangkali benar. Pasalnya, setelah marak penggunaan media internet terutama Facebook, masyarakat, terutama penulis sastra, seperti dimanjakan. Bagaimana tidak, siapa saja bisa menulis apa, kapan, dan di mana saja tanpa terkekang ini itu. Tak peduli saya ini pemula atau pun kawakan. Persetan dengan sistematika, tempo, alur, plot, rima, nada, maupun diksi.
Asal penulis menganggap itu puisi, naskah kemudian diupload melalui Note Facebook dan di-tag ke puluhan teman, jadilah karya sastra. Jadilah puisi. Jadilah cerpen. Meski (kadang) tanpa memerhatikan kaidah sastra.
Berbeda dengan iklim sebelum era 2000-an, di mana saat media cetak masih mendominasi publikasi karya sastra. Saat itu, penulis sastra bersaing ketat agar karya sastranya bisa dimuat di madia cetak. Mereka harus lolos seleksi oleh redaktur media cetak terkait. Namun, setidaknya itu pula yang membentengi penulis sastra dalam menjaga kualitas dan kemurnian hasil karya sastranya.
Saat ini, diakui atau tidak. Sejak adanya Facebook, perkembangan kesusastraan di Indonesia ramai dan meriah. Hal ini diindikasikan dengan menjamurnya penulis baru di dunia maya, internet. Bahkan setiap detik kita bisa membaca karya sastra di beranda Facebook. Sebelum Facebook, dunia kepenulisan sastra pun telah diramaikan dengan memanfaatkan blog. Bagaimanapun itu perkembangan yang semestinya mendapat perhatian secara serius.
Beda Maya, Beda Nyata
Diskusi sastra bertema "Facebook Merusak Kesusastraan (?)" yang dihelat oleh Komunitas Sastra Teater Beta di halaman Laboratorium Biologi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, baru-baru ini, adalah satu upaya membentengi terhadap kepenulisan sastra tersebut.
"Dunia maya memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan dunia nyata. Para pemakainya, dalam konteks ini, mereka yang mengoptimalkan Blog, Forum Online, Facebook dan lain-lain sebagai media berkarya, adalah individu-individu yang ‘berani’ menyebarluaskan karya sastranya secara, serta merta, massal. Sebab, semisal di blog, tulisan itu bisa muncul di mesin pencari Google. Artinya, pencari dan pecinta sastra di dunia internet di Indonesia bahkan di seluruh dunia ada kemungkinan menemukan dan membaca karya sastra tersebut," papar Novi selaku Ketua Komunitas Sastra Teater Beta.
Lebih mengerucut, Novi mengatakan, setidaknya tag teman di Facebook saja mencapai 50 teman, itu dimungkinkan membaca karya sastra hasil tag. Belum lagi, berapa jumlah teman. Semisal jumlah teman ada 3000, berarti itu juga ada kemungkinan bisa melihat publikasi tersebut. Itu bisa berlangsung kapan saja dan di mana saja. "Itulah keunikan dan kekuatan media internet yang tidak dimiliki media cetak," tutur Novi.
Betapa penulis sastra saat ini telah sebebas itu. Padahal, kata dia, jelas kepenulisan itu belum teruji. "Saya kawatir, kondisi seperti saat ini justru merusak kesusasteraan di Indonesia. Kita tahu, Facebook tidak ada redaktur yang eksistensinya seperti benteng seperti di media cetak atau koran," lanjutnya.
Komentator Membahayakan
Atas tema diskusi malam itu "Facebook Merusak Kesusastraan (?)", sastrawan Semarang Timur Sinar Suprabana selaku narasumber dalam diskusi tersebut menjawab, "Saya jawab, tidak! Mengapa? Karena Facebook hanyalah media. Merusak atau tidak tergantung pemakainya," katanya tegas.
Menurutnya, sejak adanya media Facebook, para penulis mampu melebarkan jaringan melalui pertemanannya sesama sastrawan. Sehingga dari jaringan tersebut mampu menghasilkan karya sastra baik dalam bentuk puisi maupun cerpen. "Sebut saja Helga Worotidjan, Kwek Lina, Hudan Hidayat adalah tokoh Facebook yang serius menyikapi hasil karya sastra dari pertemanan di FB kemudian menjadi buku. Di Semarang ada Galih Pandu Aji," terangnya.
Ditegaskan Timur, Facebook tidak merusak. Namun ia mengakui indikasi menurunnya kualitas penulisan memang iya. Dalam hal ini, Timur sangat menyayangkan sikap para komentator di Facebook yang asal njeplak semaunya dan tidak sesuai kaidah sastra.
Menurutnya, komentator semacam itu sangat membahayakan dan merusak. "Semisal, baru beberapa menit puisi di-uploud kemudian komentator telah menulis ‘Mantaaab!’. Apanya yang mantab? Tiga menit memberi jempol, kapan dia (komentator-red) membaca kemudian menghayati puisi? Ini hal yang tidak masuk akal dan sangat melecehkan," ungkap pria berambut gondrong ini.
Bagaimanapun, mengelola Facebook secara cerdas akan memberi kontribusi luar biasa. Andai saja tanpa Facebook pun penulis sastra tetap menulis karyanya. "Puisi mau ditayangkan di mana saja bobotnya tetap sama. Diterbitkan di koran apa saja, termasuk Facebook, bobotnya sama," tandasnya.
Bahkan di bak truk sekalipun, sastra bisa hadir tanpa terduga. Semisal, "Istri memang satu, tapi kekasih di mana-mana,". "Menurut saya, tulisan simpel semacam itu sangat masuk akal dan menggunakan hati. Meski itu ditulis oleh seorang sopir," kata Timur dalam acara diskusi yang diikuti puluhan sastrawan muda di Semarang itu. abdul mughis/rif
Beberapa pihak menilai, untuk sastra, internet adalah tong sampah alias tempat membuang apa saja. Saut Situmorang juga mengatakan bahwa sastra internet hingga saat ini masih belum diakui keberadaannya. Barangkali benar. Pasalnya, setelah marak penggunaan media internet terutama Facebook, masyarakat, terutama penulis sastra, seperti dimanjakan. Bagaimana tidak, siapa saja bisa menulis apa, kapan, dan di mana saja tanpa terkekang ini itu. Tak peduli saya ini pemula atau pun kawakan. Persetan dengan sistematika, tempo, alur, plot, rima, nada, maupun diksi.
Asal penulis menganggap itu puisi, naskah kemudian diupload melalui Note Facebook dan di-tag ke puluhan teman, jadilah karya sastra. Jadilah puisi. Jadilah cerpen. Meski (kadang) tanpa memerhatikan kaidah sastra.
Berbeda dengan iklim sebelum era 2000-an, di mana saat media cetak masih mendominasi publikasi karya sastra. Saat itu, penulis sastra bersaing ketat agar karya sastranya bisa dimuat di madia cetak. Mereka harus lolos seleksi oleh redaktur media cetak terkait. Namun, setidaknya itu pula yang membentengi penulis sastra dalam menjaga kualitas dan kemurnian hasil karya sastranya.
Saat ini, diakui atau tidak. Sejak adanya Facebook, perkembangan kesusastraan di Indonesia ramai dan meriah. Hal ini diindikasikan dengan menjamurnya penulis baru di dunia maya, internet. Bahkan setiap detik kita bisa membaca karya sastra di beranda Facebook. Sebelum Facebook, dunia kepenulisan sastra pun telah diramaikan dengan memanfaatkan blog. Bagaimanapun itu perkembangan yang semestinya mendapat perhatian secara serius.
Beda Maya, Beda Nyata
Diskusi sastra bertema "Facebook Merusak Kesusastraan (?)" yang dihelat oleh Komunitas Sastra Teater Beta di halaman Laboratorium Biologi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, baru-baru ini, adalah satu upaya membentengi terhadap kepenulisan sastra tersebut.
"Dunia maya memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan dunia nyata. Para pemakainya, dalam konteks ini, mereka yang mengoptimalkan Blog, Forum Online, Facebook dan lain-lain sebagai media berkarya, adalah individu-individu yang ‘berani’ menyebarluaskan karya sastranya secara, serta merta, massal. Sebab, semisal di blog, tulisan itu bisa muncul di mesin pencari Google. Artinya, pencari dan pecinta sastra di dunia internet di Indonesia bahkan di seluruh dunia ada kemungkinan menemukan dan membaca karya sastra tersebut," papar Novi selaku Ketua Komunitas Sastra Teater Beta.
Lebih mengerucut, Novi mengatakan, setidaknya tag teman di Facebook saja mencapai 50 teman, itu dimungkinkan membaca karya sastra hasil tag. Belum lagi, berapa jumlah teman. Semisal jumlah teman ada 3000, berarti itu juga ada kemungkinan bisa melihat publikasi tersebut. Itu bisa berlangsung kapan saja dan di mana saja. "Itulah keunikan dan kekuatan media internet yang tidak dimiliki media cetak," tutur Novi.
Betapa penulis sastra saat ini telah sebebas itu. Padahal, kata dia, jelas kepenulisan itu belum teruji. "Saya kawatir, kondisi seperti saat ini justru merusak kesusasteraan di Indonesia. Kita tahu, Facebook tidak ada redaktur yang eksistensinya seperti benteng seperti di media cetak atau koran," lanjutnya.
Komentator Membahayakan
Atas tema diskusi malam itu "Facebook Merusak Kesusastraan (?)", sastrawan Semarang Timur Sinar Suprabana selaku narasumber dalam diskusi tersebut menjawab, "Saya jawab, tidak! Mengapa? Karena Facebook hanyalah media. Merusak atau tidak tergantung pemakainya," katanya tegas.
Menurutnya, sejak adanya media Facebook, para penulis mampu melebarkan jaringan melalui pertemanannya sesama sastrawan. Sehingga dari jaringan tersebut mampu menghasilkan karya sastra baik dalam bentuk puisi maupun cerpen. "Sebut saja Helga Worotidjan, Kwek Lina, Hudan Hidayat adalah tokoh Facebook yang serius menyikapi hasil karya sastra dari pertemanan di FB kemudian menjadi buku. Di Semarang ada Galih Pandu Aji," terangnya.
Ditegaskan Timur, Facebook tidak merusak. Namun ia mengakui indikasi menurunnya kualitas penulisan memang iya. Dalam hal ini, Timur sangat menyayangkan sikap para komentator di Facebook yang asal njeplak semaunya dan tidak sesuai kaidah sastra.
Menurutnya, komentator semacam itu sangat membahayakan dan merusak. "Semisal, baru beberapa menit puisi di-uploud kemudian komentator telah menulis ‘Mantaaab!’. Apanya yang mantab? Tiga menit memberi jempol, kapan dia (komentator-red) membaca kemudian menghayati puisi? Ini hal yang tidak masuk akal dan sangat melecehkan," ungkap pria berambut gondrong ini.
Bagaimanapun, mengelola Facebook secara cerdas akan memberi kontribusi luar biasa. Andai saja tanpa Facebook pun penulis sastra tetap menulis karyanya. "Puisi mau ditayangkan di mana saja bobotnya tetap sama. Diterbitkan di koran apa saja, termasuk Facebook, bobotnya sama," tandasnya.
Bahkan di bak truk sekalipun, sastra bisa hadir tanpa terduga. Semisal, "Istri memang satu, tapi kekasih di mana-mana,". "Menurut saya, tulisan simpel semacam itu sangat masuk akal dan menggunakan hati. Meski itu ditulis oleh seorang sopir," kata Timur dalam acara diskusi yang diikuti puluhan sastrawan muda di Semarang itu. abdul mughis/rif
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.