Wanita berpakaian compang-camping itu berjalan menyusuri sela-sela nisan kuburan yang gersang. Ia tampak merintih sembari terus menabur bunga. Seperti mencari sesuatu yang telah terkubur. Mereka semua telah gugur, telah menyatu dengan tanah. Ia seperti tak percaya dengan nama-nama yang kadang dipuja, kadang dimaki.
Hanya ada nisan-nisan yang menjadi saksi bisu. Ia hanya bisa terdiam menjaga berjuta saksi yang hidup. Sang perempuan pun gemetar takut, khawatir. Khawatir jika bangsa ini kalah melawan penyakit lupa. Itulah gambaran singkat yang tampak dalam sebuah aksi performance art besutan Adit yang juga seorang jurnalis dalam refleksi tragedi G 30 S yang dihelat oleh Komunitas Seniman Semarang di halaman kampus Sastra Undip Pleburan, Jum’at (30/9) siang.
Tragedi berdarah Gerakan 30 September 1965 silam masih menyisakan perih yang mendalam bagi generasi penerus bangsa. Pasalnya, Partai Komunis Indonesia (PKI) sempat menjadi public enemy bagi rakyat Indonesia. Bahkan sepeninggalnya, anak-anak cucu atau generasi yang diketahui masih ada rentetan silsilah dengan partai kontroversial tersebut, dicap PKI.
“Yang terjadi, sejarah pun hanya milik penulis yang kemudian bisa ditekuk sesuai misi politik saat itu,” ujar Yoyok, seniman.
Gerus Pembohongan Publik
Menurutnya, seharusnya pemerintah meluruskan sejarah yang sumir itu. Jangan sampai siswa di sekolah dijejali buku-buku sejarah dan bisa memberikan penjelasan yang terang kepada masyarakat tentang G30S 1965 yang selama ini dikaburkan oleh pemerintah orde baru. Pemerintah seharunya melakukan penulisan sejarah G30S 1965 dengan pendekatan sosial, bukan pendekatan politik seperti yang selama ini dilakukan oleh para sejarawan pada masa orde baru. “Agar tak terjadi pembohongan publik,” katanya.
Kini, semua masyarakat mengetahui bahwa G30S adalah bagian dari sejarah bangsa yang dikaburkan. Namun, diakui atau tidak, untuk menghapus sejarah yang telanjur melekat dalam benak masyarakat tersebut diakuinya cukup sulit. Yoyok juga menegaskan, di era sekarang cap PKI tak perlu ada. “Namun negara belum memfasilitasi persoalan itu. Bahkan negara seperti kalah melawan penyakit lupa. Atau bahkan pura-pura lupa,” tandasnya.
Seharusnya negara memberi perhatian khusus terhadap anak-anak korban tragedi tersebut. Langkahnya bisa apa aja, semisal rehabilitasi dan semacamnya. Jangan sampai anak-anak keturunan dari pelaku G 30 S tersebut, dalam bahasa kasarnya, dicap PKI oleh negara. Apalagi jika terjadi ia menjadi terasing di negeri sendiri.
“Sekarang, ya bagaimana pemerintah mau dan mampu mengembalikan nama baik dan meluruskan sejarah yang telah kabur itu,” ungkap Yoyok.
Terjangkit Penyakit Lupa
Sementara pemeran wanita dalam performance, Tri Supriyati mengatakan adegan-adegan yang ia visualkan dengan gerak tersebut mencoba mengulas betapa perih dan menderitanya akibat momen 1965 itu. Dalam tragedi itu, semacam ada ending yang dimanipulasi.
“Fakta-fakta menjadi hilang, manusia sekarang terjangkit penyakit lupa,” kata wanita aktifis kesenian dari Paramesthi ini.
Maka, dari alur cerita itu ada yang hilang. Karna histori itu sengaja dibuat oleh orang-orang yang berkepentingan politik saat itu. Diharapkan pemerintah mampu merekonstruksi kembali peristiwa G30S 1965 yang selama ini kabur akibat intervensi orde baru.
“Mari kita selamatkan sejarah bangsa, agar para genarasimuda bisa melihat sejarah dengan terang dan jelas tanpa adanya intervensi politik tertentu,” pungkasnya. (abdul mughis/rif)
Hanya ada nisan-nisan yang menjadi saksi bisu. Ia hanya bisa terdiam menjaga berjuta saksi yang hidup. Sang perempuan pun gemetar takut, khawatir. Khawatir jika bangsa ini kalah melawan penyakit lupa. Itulah gambaran singkat yang tampak dalam sebuah aksi performance art besutan Adit yang juga seorang jurnalis dalam refleksi tragedi G 30 S yang dihelat oleh Komunitas Seniman Semarang di halaman kampus Sastra Undip Pleburan, Jum’at (30/9) siang.
Tragedi berdarah Gerakan 30 September 1965 silam masih menyisakan perih yang mendalam bagi generasi penerus bangsa. Pasalnya, Partai Komunis Indonesia (PKI) sempat menjadi public enemy bagi rakyat Indonesia. Bahkan sepeninggalnya, anak-anak cucu atau generasi yang diketahui masih ada rentetan silsilah dengan partai kontroversial tersebut, dicap PKI.
“Yang terjadi, sejarah pun hanya milik penulis yang kemudian bisa ditekuk sesuai misi politik saat itu,” ujar Yoyok, seniman.
Gerus Pembohongan Publik
Menurutnya, seharusnya pemerintah meluruskan sejarah yang sumir itu. Jangan sampai siswa di sekolah dijejali buku-buku sejarah dan bisa memberikan penjelasan yang terang kepada masyarakat tentang G30S 1965 yang selama ini dikaburkan oleh pemerintah orde baru. Pemerintah seharunya melakukan penulisan sejarah G30S 1965 dengan pendekatan sosial, bukan pendekatan politik seperti yang selama ini dilakukan oleh para sejarawan pada masa orde baru. “Agar tak terjadi pembohongan publik,” katanya.
Kini, semua masyarakat mengetahui bahwa G30S adalah bagian dari sejarah bangsa yang dikaburkan. Namun, diakui atau tidak, untuk menghapus sejarah yang telanjur melekat dalam benak masyarakat tersebut diakuinya cukup sulit. Yoyok juga menegaskan, di era sekarang cap PKI tak perlu ada. “Namun negara belum memfasilitasi persoalan itu. Bahkan negara seperti kalah melawan penyakit lupa. Atau bahkan pura-pura lupa,” tandasnya.
Seharusnya negara memberi perhatian khusus terhadap anak-anak korban tragedi tersebut. Langkahnya bisa apa aja, semisal rehabilitasi dan semacamnya. Jangan sampai anak-anak keturunan dari pelaku G 30 S tersebut, dalam bahasa kasarnya, dicap PKI oleh negara. Apalagi jika terjadi ia menjadi terasing di negeri sendiri.
“Sekarang, ya bagaimana pemerintah mau dan mampu mengembalikan nama baik dan meluruskan sejarah yang telah kabur itu,” ungkap Yoyok.
Terjangkit Penyakit Lupa
Sementara pemeran wanita dalam performance, Tri Supriyati mengatakan adegan-adegan yang ia visualkan dengan gerak tersebut mencoba mengulas betapa perih dan menderitanya akibat momen 1965 itu. Dalam tragedi itu, semacam ada ending yang dimanipulasi.
“Fakta-fakta menjadi hilang, manusia sekarang terjangkit penyakit lupa,” kata wanita aktifis kesenian dari Paramesthi ini.
Maka, dari alur cerita itu ada yang hilang. Karna histori itu sengaja dibuat oleh orang-orang yang berkepentingan politik saat itu. Diharapkan pemerintah mampu merekonstruksi kembali peristiwa G30S 1965 yang selama ini kabur akibat intervensi orde baru.
“Mari kita selamatkan sejarah bangsa, agar para genarasimuda bisa melihat sejarah dengan terang dan jelas tanpa adanya intervensi politik tertentu,” pungkasnya. (abdul mughis/rif)
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.