Andang Kelana, atau intim disapa Kelana saja. Nama yang tak asing bagi penikmat maupun kurator lukisan, terutama Semarang. Pelukis beraliran naturalis-surealis ini berderak dalam dinamika seni rupa di Kota Lunpia, sebelum akhirnya ia menghadap Sang Khalik pada 7 Januari 2011.
Darah seni selalu berpusar di lingkup keluarga. Tak sedikit seniman menurunkan bakat ke anak-anaknya, termasuk Kelana. Dari sepuluh anaknya, Tinuk Kelana lah yang menerima kucuran bakat sang ayah.
Tinuk, perempuan kelahiran 28 Oktober 1970 ini sesungguhnya lebih liat bergumul dengan dunia pendidikan lantaran ia mengelola bimbingan belajar (bimbel) di Jakarta. Tetapi, lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIK, sekarang Stikom) Semarang itu intens melukis. Alirannya? Mirip ayahnya.
“Saya belajar dari Bapak tentang segala hal mengenai lukisan, tapi tidak mudah mencurahkan seluruh waktu untuk melukis. Butuh konsentrasi. Dan konsentrasi itu juga harus patuh oleh inspirasi. Inspirasi tanpa konsentrasi nggak ada artinya, begitu juga sebaliknya,” tutur istri Aryo Yunartono ini.
Kelana, di mata Tinuk, mencurahkan seluruh waktunya untuk melukis. Dari melukis pula Kelana menghidupi sepuluh anak. “Saya mengaguminya sebagai ayah, sahabat, sekaligus guru. Jarang orang setia dengan hanya satu dunia saja seperti Bapak,” ucapnya.
Sudah belasan lukisan ia bukukan dan figura. Sudah pula ada niat untuk membuat galeri (baik di Semarang maupun Jakarta). “Juga sudah ada beberapa kawan yang meminta saya pameran,” ungkapnya.
Namun, Tinuk belum menemukan waktu tepat untuk menjelmakan dirinya benar-benar menjadi pelukis. Apa sebabnya? “Ada sedikit kegamangan, benarkah saya ini pelukis. Jangan-jangan nanti ada tuduhan saya berlindung di balik kebesaran nama Bapak. Tapi, yakinlah suatu ketika saya akan go public,” tutur guru les privat sejumlah anak-anak penyanyi top macam Heidi Ibrahim (vokalis Power Slave), Gito Rolies, Cindy Claudia Harahap, dan sebagainya ini.
Melukis adalah sebuah pilihan bagi Tinuk. Ia tak sanggup membendung hasrat menggoreskan kuas ke kanvas. Dan ia amat hati-hati memperlakukan pilihannya itu, semata karena seni lukis begitu selektif memilih para ahlinya. Begitu banyak orang mengaku pelukis, namun mereka sering miskin apresiasi.
Dan Tinuk tak mau tanggung! arief
Darah seni selalu berpusar di lingkup keluarga. Tak sedikit seniman menurunkan bakat ke anak-anaknya, termasuk Kelana. Dari sepuluh anaknya, Tinuk Kelana lah yang menerima kucuran bakat sang ayah.
Tinuk, perempuan kelahiran 28 Oktober 1970 ini sesungguhnya lebih liat bergumul dengan dunia pendidikan lantaran ia mengelola bimbingan belajar (bimbel) di Jakarta. Tetapi, lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIK, sekarang Stikom) Semarang itu intens melukis. Alirannya? Mirip ayahnya.
“Saya belajar dari Bapak tentang segala hal mengenai lukisan, tapi tidak mudah mencurahkan seluruh waktu untuk melukis. Butuh konsentrasi. Dan konsentrasi itu juga harus patuh oleh inspirasi. Inspirasi tanpa konsentrasi nggak ada artinya, begitu juga sebaliknya,” tutur istri Aryo Yunartono ini.
Kelana, di mata Tinuk, mencurahkan seluruh waktunya untuk melukis. Dari melukis pula Kelana menghidupi sepuluh anak. “Saya mengaguminya sebagai ayah, sahabat, sekaligus guru. Jarang orang setia dengan hanya satu dunia saja seperti Bapak,” ucapnya.
Sudah belasan lukisan ia bukukan dan figura. Sudah pula ada niat untuk membuat galeri (baik di Semarang maupun Jakarta). “Juga sudah ada beberapa kawan yang meminta saya pameran,” ungkapnya.
Namun, Tinuk belum menemukan waktu tepat untuk menjelmakan dirinya benar-benar menjadi pelukis. Apa sebabnya? “Ada sedikit kegamangan, benarkah saya ini pelukis. Jangan-jangan nanti ada tuduhan saya berlindung di balik kebesaran nama Bapak. Tapi, yakinlah suatu ketika saya akan go public,” tutur guru les privat sejumlah anak-anak penyanyi top macam Heidi Ibrahim (vokalis Power Slave), Gito Rolies, Cindy Claudia Harahap, dan sebagainya ini.
Melukis adalah sebuah pilihan bagi Tinuk. Ia tak sanggup membendung hasrat menggoreskan kuas ke kanvas. Dan ia amat hati-hati memperlakukan pilihannya itu, semata karena seni lukis begitu selektif memilih para ahlinya. Begitu banyak orang mengaku pelukis, namun mereka sering miskin apresiasi.
Dan Tinuk tak mau tanggung! arief
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.