Latest Post
01.39
Sang Pengembara
Written By tonitok on Kamis, 01 Maret 2012 | 01.39
Cerpen: Antoni
CINTA membuatku bodoh. Sebetulnya aku membenci keadaan ini. Sudah lama aku tidak jatuh cinta. Dan tiba-tiba makhluk gaib itu datang, menyergapku dari belakang, membantingku dengan kasar, jatuhlah aku ke pelaminan.
Aku seorang pengembara, tapi kini aku terjerat tali pernikahan. Bayangkan. Seorang pengembara terjerat tali pernikahan! Pernikahan tanpa janur kuning melengkung, tanpa kelapa gading menggelantung, tanpa setandan pisang raja, melati dironce-ronce, apalagi gending Kodok Ngorek, tidak ada sama sekali. Semua berlangsung tawar, tidak semerbak, abu-abu, persis mendung menggantung.
"Ini pernikahan resmi kan, Ma?" tanyaku kepada ibu mertuaku, setelah semua tamu pulang.
"Resmi…!" Alis matanya agak menaik. "Ada naib dan petugas KUA. Sah
menurut hukum dan agama. Emangnya kenapa?"
"Ya alhamdulillah, merasa bahagia saja…," jawabku. Aku memang seorang muallaf sejak Agustus 2003. Jadi maklum belum begitu paham.
Kami pun kembali terdiam. Ibu mertuaku asyik memisah-misahkan jepitan rambut yang tadi dipakai istriku. Ada yang besar ada yang kecil, dipisahkan satu dengan lainnya. Lalu disimpan di kotak kecil-kecil. Sambil menyulut rokok, aku sandarkan punggung ke tiang kayu penyangga rumah limasan ini. Tidak ada penutup atap. Gentingnya terlihat dari bawah. Lonjoran-lonjoran bambu tampak jelas.
Aku tercenung sejenak. Teringat mendiang ibuku yang meninggal November tahun lalu. Seandainya masih hidup, tentu ia bahagia sekali menyaksikan pernikahanku. Wasiat terakhir untukku hanya satu: ia ingin melihatku bahagia.
Rambutku terasa sedikit naik. Angin bukit batu yang kering, bersirobok masuk dari pintu depan. "Aku mengalami kebahagiaan hanya pada saat berdoa saja, Bu…," gumamku dalam batin.
Pernikahan, terus terang, memang membuatku bahagia. Meski perhelatannya berlangsung sangat sederhana. Pernikahan memaksaku berhenti mengembara. Puluhan tahun aku melintasi jalanan sepi dan gelap, berteman rindu dan harapan. Kakiku melangkah tanpa kepastian. Akhirnya aku dihentikan oleh kekuatan yang tidak pernah aku pahami. Jodoh membuatku berhenti melangkah.
Sebagai pengembara, sungguh tak pernah aku mempelajari apa itu hakikat perkawinan, rumah tangga bahagia, keluarga sakinah dan sebangsanya. Jadilah aku manusia paling bodoh. Mengalami ketergagapan budaya dalam berumah tangga. Sebuah ritual tradisional yang dijalankan turun temurun oleh seluruh umat manusia di dunia ini. Dan aku tidak mengenalinya sama sekali.
Dulu, aku merasa takut menghadapi pernikahan. Dalam bayanganku, semua keperluan rumah tangga harus dipersiapkan terlebih dahulu, seperti rumah, penghasilan tetap dan kendaraan. Sejak usia 18 tahun, sudah tiga kali aku membangun rumah, hanya untuk memahami elemen-elemen pernikahan itu. Rumah pertama, mungil tapi permanen, terpaksa aku jual karena pindah ke Surabaya. Dan calon istriku pergi jadi pramugari. Terbang, selamanya.
Rumah kedua, sebetulnya aku tidak begitu berminat membangunnya untuk tujuan berumah tangga, meski pacarku cintanya tak terbatas untukku. Kubangun di pinggir jalan besar, di sebuah desa yang tenang. Aku tinggal di situ setahun lamanya, sambil menyelesaikan buku keduaku tentang meditasi. Aku jual lagi. Pacarku ke Singapura bekerja di sana.
Setelah itu, aku tidak membangun rumah lagi. Tapi membelinya. Di daerah sentra pariwisata di Jogja. Sebuah rumah joglo tua dan angker. Kubuat galeri
kecil, lumayan juga. Lukisan-lukisan karyaku sempat dibeli turis Belanda dan Belgia. Akhirnya, karena jenuh dan ada peristiwa bom Bali, aku memutuskan
mengembara lagi. Rumah itu kujual secara tergesa-gesa.
Kini, aku punya istri yang setia tapi tidak punya rumah. Dulu aku punya rumah tapi hidup sendiri tanpa istri. He..he…he, ironis kan? Sementara ini istriku tinggal bersama mamanya. Ia memang anak yatim yang didera penderitaan hidup berkepanjangan.
Aku letakkan puntung rokok terakhirku ke asbak. Ibu mertuaku ternyata sudah sejak tadi beranjak dari duduknya. Lamunanku tentang peristiwa pernikahan ini, membuatku tidak memahami lingkungan sekitarku. Aku pun beranjak, mencari istriku di bilik sebelah, bersekat tripleks.
Istriku cantik sekali. Tercantik di dunia. Ia tampak sedang sibuk memberesi pakaian pengantinnya, bedaknya dan segala tetek bengek perlengkapan gaun pengantin. Bau parfum Drakkar Noir dari Calvin Klein masih tertinggal, di ujung hidungku. Tadi, seusai resepsi, kucium dia di tengkuknya. Jadi aroma parfumnya ikut juga. Memang, itu parfum cowok. Tapi mau bagaimana lagi? Adanya cuma itu. Aku membelinya di drugstore Bandara Juanda, Surabaya dua tahun lalu, sepulang dari Makassar.
Aku cium lagi tengkuknya. Ia tersenyum manja. Kebahagiaan terpancar di wajahnya. "Mau ngopi lagi, Mas?" tanyanya. Aku menggeleng, kudekap dia dari belakang, kemudian kita saling menempelkan pipi dan mematut-matut di depan cermin. Sepasang pengantin baru yang menikah diam-diam. Aku lihat matanya berbinar-binar. Ia bahagia.
Makna kebahagiaan bagiku hanyalah setetes warna yang lebih bersinar di antara warna-warna lain yang kusam. Setiap orang yang mampu meraih segala sesuatu yang diidam-idamkan, tentu merasa bahagia. Begitu pula aku. Seringkali aku merasa lelah mengembara dan ingin hidup layak seperti pada umumnya orang dengan menikah, berkeluarga, dan beranak pinak seperti yang disampaikan Allah kepada Nabi Ibrahim.
Dua minggu menjelang pernikahan, secara khusus memang aku memohon kepada kekuatan Yang Maha Dahsyat. Kekuatan paling purba, sebelum bumi dan tata surya ini tercipta. Di bawah pohon tua berumur ratusan tahun, di atas bukit kecil yang lembab, tepat tengah malam dan purnama penuh di angkasa, aku sampaikan permohonan keramatku itu. "Aku tidak butuh kekayaan, aku butuh istri dan sebuah keluarga," begitu doaku. Kun fayakun, terjadilah segala sesuatunya secepat kilat.
Pernikahanku juga berlangsung kilat. Memang, ketemunya sudah lama, dua tahun silam di acara pernikahan seorang artis dangdut top ibu kota. Belum ada getar-getar cinta kala itu. Pertemuan kedua terjadi di Jogja, di pinggir lapangan golf Hyatt Regency, Bogeys Teras. Biasa saja, semuanya berlangsung biasa. Cuma di tengah dentuman musik classic rock yang mengalun, dia mengatakan kepadaku setengah berbisik: "Kalau mau sama aku, harus serius…," katanya.
Langsung saja aku melamarnya malam itu juga. Ia pun mencium punggung tangan kananku. Resmilah kita mengikat janji. Sepuluh hari setelah malam "bertabur bintang" itu, terjadilah pernikahanku ini. Tanpa surat undangan dan wedding taart.
Perjalanan pernikahanku memang terkesan begitu indah. Tak ada cacat,
semua berjalan baik dan tenang. Ombaknya kecil, landai, dan bisa pasang layar sesuka hati. Langit biru tampak bersahabat di ujung cakrawala dan matahari bersinar ramah.
Kunikmati pernikahanku. Sedikit unik. Biasanya jok sebelah kemudiku selalu kosong. Paling, terisi dokumen pribadi dan beberapa bungkus rokok. Kini ada wanita cantik dengan rambut tergerai, tawa yang renyah dan sangat suka memakai aksen…gitu loh. "Liya gitu loh….," katanya menegaskan bahwa Liya beda dengan Lia.
Aku jadi mudah tertawa dibuatnya. Segala kata jadi berbunga-bunga, dan kita selalu mengurung diri di kamar berdua. Bercanda, berantem kecil-kecilan, saling merajuk dan tentu saja, bercinta.
"Aku pengin punya anak 9," kataku.
"Dua saja….Capek," jawabnya sambil menepuki perutnya.
Lalu kita berpelukan lagi. Seolah tidak ada cakrawala untuk luapan kegembiraan dan kebahagiaanku. Tidak ada yang membatasi. Tidak ada garis lurus yang memisahkan. Tidak seperti langit dan bumi yang dibelah di cakrawala. Segalanya serba los, bebas dan tak terbatas. Luar biasa. Aku selalu merindukan setiap menitnya.
Tawa ceria dan segala canda itu ternyata tidak berumur lama. Begitu cepat perginya. Sama cepatnya dengan proses pernikahanku. Kebahagiaan, agaknya, tidak pernah berpihak kepadaku. Segala sesuatunya berbalik 180 derajat. Sirna seketika. Berubah serba hitam. Galau. Gelap. Bergemuruh. Menghentak-hentak dan menyambar-nyambar. Setiap kata jadi bersayap-sayap. Salah paham muncul silih berganti. Kecemburuan, kecurigaan, dan pembicaraan-pembicaraan yang penuh teka-teki pun berebut mengganggu.
Salah ucap sedikit, menjelma jadi bara api. Berkilat-kilat. Aku sampai tidak sempat berdoa karena pikiranku tersita sepenuhnya untuk istriku. Kelakuannya berubah-ubah, sulit dipahami.
"Aku ingin sendiri," katanya pelan, tapi kurasakan seperti halilintar.
Menggelegar.
"Kita ini menikah, bukan pacaran. Ini Suro…harus serba hati-hati," kataku
mengingatkan.
"Hasyaahhhh….." Mukanya jadi cemberut dan bibirnya jadi tambah lancip.
Rambutnya yang dikucir bergoyang-goyang. Meski marah, kuakui, dia tetap saja menggemaskan.
Sambil menjentikkan abu rokok ke asbak, ia pun berargumentasi tentang pernak-pernik kegalauan perasaannya. Dari soal sepele sampai besar. "Aku tuh sukanya mobil-mobilan dan korek api, bukan bunga…Sabunku juga bukan yang itu, shamponya yang ini….." Mimik mukanya agak berkerut-kerut, ketika aku bawakan setangkai red rose yang dikemas plastik cantik.
Aku berusaha menyelami segala sesuatunya dengan hati-hati. Termasuk soal rumah, yang berkali-kali dilihat masih kurang cocok di hati. Kadang jengkel juga. Namun pernikahan tidak boleh terganggu dengan perasaan-perasaan yang tidak berguna seperti itu. Pernah aku berpikir kenapa harus begitu tergesa-gesa menikah?
"Aku sudah lelah dan jenuh dengan kehidupanku selama ini. Jadi aku
memutuskan untuk cepat menikah," katanya ketika itu.
Argumentasinya itu membuatku merasa menemukan wanita yang sudah matang. Masa lalu yang carut marut memang harus diakhiri ketika pernikahan terjadi. Ketika baju pengantin dikenakan dan akad nikah ditandatangani, maka masa lalu berakhirlah di situ. Pernikahan adalah sebuah lembaran baru yang serba bersih, sehingga kita bisa menuliskan apa pun di sana sesuka hati, tanpa harus dihantui lembaran-lembaran hitam masa lalu. Kisahnya harus dibuat sesuai tata nilai yang berlaku di masyarakat. Ditata seperti mengatur sebuah taman bunga. Agar segalanya serba semerbak dan mewangi. Sampai akhirnya lembaran pamungkasnya ditutup sendiri oleh Sang Khaliq. Pemilik hak atas seluruh hukum kehidupan. Ah, lumayan juga teoriku ini.
"Hanya kematian yang bisa memisahkan sepasang pengantin," kataku kepadanya. Ia tercenung beberapa jurus. Matanya yang indah terdiam beberapa saat. Lalu bola matanya berubah jadi abu-abu. Ia pun meledak-ledak lagi. Ada bau parfum yang berbeda dari tubuhnya, ketika ia berdiri sambil bersungut-sungut. Aku terhenyak. Berangkat kantor tadi pagi, memang ia sudah terlihat kusut. Tapi aku tidak memikirkannya terlalu dalam. Sewaktu turun mobil, ia hampir lupa mencium tanganku.
"Aku suamimu bukan?" tanyaku pelan, sambil kusodorkan tangan kananku.
Ia pun menciumnya. "Nanti dijemput jam berapa?" tanyaku lagi.
"Jam empat sore. Mundur satu jam," jawabnya, sambil bergegas turun.
Prahara itu pun dimulai. Bau parfum yang berbeda sepulang kantor, menjadi puncak dari seluruh masalah yang bertumpuk. Padahal sepulang kantor tadi kami sempat melihat sekali lagi rumah yang akan kami tempati.
"Besok aku mau naik bis kota saja. Nggak usah diantar jemput lagi," ujarnya sambil membanting tubuhnya ke kasur. Ia memunggungiku. Tampak jengkel.
Aku berharap keadaan itu hanya sementara saja. Seperti permasalahan-permasalahan kecil yang terjadi di hari-hari kemarin. Ternyata tidak. Besok-besoknya lagi, tetap sama. Terus-menerus begitu. Sehari dua hari. Seminggu dua minggu. Seluruh saluran komunikasi ditutup. Ia pun ganti nomor hand phone. Aku takut membayangkan kenyataan yang bisa membuatku bersedih.
"Ini hanya sementara…," katanya ketika aku nekat menemuinya, di siang yang terik. "Sementara…," itulah kata-kata yang aku jadikan pegangan. Meski berat dan dipenuhi ribuan teka-teki, aku berusaha meyakini janjinya itu.
Kehidupanku pun limbung. Aku kembali melangkah tanpa kepastian, tak ada teman selain rindu dan harapan. Keinginanku untuk menjalani kehidupan masa lalu kembali menggelegak lagi. Mengembara. Ya, mengembara. Akulah, pengembara itu!
Aku harus kembali berteman dengan alam, dengan orang-orang yang hidup
sederhana di ujung-ujung desa, di pegunungan dan di pinggir-pinggir pantai. Bertemu orang-orang yang tulus mencintaiku, menerimaku dengan tangan terbuka, tanpa rasa curiga, saling pengertian dan tidak mengkhianati. Aku merasa bahagia. Apalagi kalau mereka berduyun-duyun di belakangku, mengikutiku berdoa.
"Tapi ya Allah, apakah Engkau tidak mengizinkan aku memiliki sebuah keluarga, keturunan, dan generasi pewaris?" gumamku ketika aku datang lagi ke pohon besar di atas bukit yang lembab itu.
Selang beberapa saat, tiba-tiba melodi Songete mengalun dari hand phoneku. Debur ombak Laut Selatan hampir membuatku tidak mendengarnya. Ada SMS masuk, dadaku berdebar.
"Jeleeeeeeeeeeeeeek…where are u? Aku kangen tho sama Jelek. Ke sini tak buatin kopi…..!" begitu bunyi SMS-nya. Dari istriku.
Ah, ternyata itu SMS yang pending sejak empat minggu lalu. ***
CINTA membuatku bodoh. Sebetulnya aku membenci keadaan ini. Sudah lama aku tidak jatuh cinta. Dan tiba-tiba makhluk gaib itu datang, menyergapku dari belakang, membantingku dengan kasar, jatuhlah aku ke pelaminan.
Aku seorang pengembara, tapi kini aku terjerat tali pernikahan. Bayangkan. Seorang pengembara terjerat tali pernikahan! Pernikahan tanpa janur kuning melengkung, tanpa kelapa gading menggelantung, tanpa setandan pisang raja, melati dironce-ronce, apalagi gending Kodok Ngorek, tidak ada sama sekali. Semua berlangsung tawar, tidak semerbak, abu-abu, persis mendung menggantung.
"Ini pernikahan resmi kan, Ma?" tanyaku kepada ibu mertuaku, setelah semua tamu pulang.
"Resmi…!" Alis matanya agak menaik. "Ada naib dan petugas KUA. Sah
menurut hukum dan agama. Emangnya kenapa?"
"Ya alhamdulillah, merasa bahagia saja…," jawabku. Aku memang seorang muallaf sejak Agustus 2003. Jadi maklum belum begitu paham.
Kami pun kembali terdiam. Ibu mertuaku asyik memisah-misahkan jepitan rambut yang tadi dipakai istriku. Ada yang besar ada yang kecil, dipisahkan satu dengan lainnya. Lalu disimpan di kotak kecil-kecil. Sambil menyulut rokok, aku sandarkan punggung ke tiang kayu penyangga rumah limasan ini. Tidak ada penutup atap. Gentingnya terlihat dari bawah. Lonjoran-lonjoran bambu tampak jelas.
Aku tercenung sejenak. Teringat mendiang ibuku yang meninggal November tahun lalu. Seandainya masih hidup, tentu ia bahagia sekali menyaksikan pernikahanku. Wasiat terakhir untukku hanya satu: ia ingin melihatku bahagia.
Rambutku terasa sedikit naik. Angin bukit batu yang kering, bersirobok masuk dari pintu depan. "Aku mengalami kebahagiaan hanya pada saat berdoa saja, Bu…," gumamku dalam batin.
Pernikahan, terus terang, memang membuatku bahagia. Meski perhelatannya berlangsung sangat sederhana. Pernikahan memaksaku berhenti mengembara. Puluhan tahun aku melintasi jalanan sepi dan gelap, berteman rindu dan harapan. Kakiku melangkah tanpa kepastian. Akhirnya aku dihentikan oleh kekuatan yang tidak pernah aku pahami. Jodoh membuatku berhenti melangkah.
Sebagai pengembara, sungguh tak pernah aku mempelajari apa itu hakikat perkawinan, rumah tangga bahagia, keluarga sakinah dan sebangsanya. Jadilah aku manusia paling bodoh. Mengalami ketergagapan budaya dalam berumah tangga. Sebuah ritual tradisional yang dijalankan turun temurun oleh seluruh umat manusia di dunia ini. Dan aku tidak mengenalinya sama sekali.
Dulu, aku merasa takut menghadapi pernikahan. Dalam bayanganku, semua keperluan rumah tangga harus dipersiapkan terlebih dahulu, seperti rumah, penghasilan tetap dan kendaraan. Sejak usia 18 tahun, sudah tiga kali aku membangun rumah, hanya untuk memahami elemen-elemen pernikahan itu. Rumah pertama, mungil tapi permanen, terpaksa aku jual karena pindah ke Surabaya. Dan calon istriku pergi jadi pramugari. Terbang, selamanya.
Rumah kedua, sebetulnya aku tidak begitu berminat membangunnya untuk tujuan berumah tangga, meski pacarku cintanya tak terbatas untukku. Kubangun di pinggir jalan besar, di sebuah desa yang tenang. Aku tinggal di situ setahun lamanya, sambil menyelesaikan buku keduaku tentang meditasi. Aku jual lagi. Pacarku ke Singapura bekerja di sana.
Setelah itu, aku tidak membangun rumah lagi. Tapi membelinya. Di daerah sentra pariwisata di Jogja. Sebuah rumah joglo tua dan angker. Kubuat galeri
kecil, lumayan juga. Lukisan-lukisan karyaku sempat dibeli turis Belanda dan Belgia. Akhirnya, karena jenuh dan ada peristiwa bom Bali, aku memutuskan
mengembara lagi. Rumah itu kujual secara tergesa-gesa.
Kini, aku punya istri yang setia tapi tidak punya rumah. Dulu aku punya rumah tapi hidup sendiri tanpa istri. He..he…he, ironis kan? Sementara ini istriku tinggal bersama mamanya. Ia memang anak yatim yang didera penderitaan hidup berkepanjangan.
Aku letakkan puntung rokok terakhirku ke asbak. Ibu mertuaku ternyata sudah sejak tadi beranjak dari duduknya. Lamunanku tentang peristiwa pernikahan ini, membuatku tidak memahami lingkungan sekitarku. Aku pun beranjak, mencari istriku di bilik sebelah, bersekat tripleks.
Istriku cantik sekali. Tercantik di dunia. Ia tampak sedang sibuk memberesi pakaian pengantinnya, bedaknya dan segala tetek bengek perlengkapan gaun pengantin. Bau parfum Drakkar Noir dari Calvin Klein masih tertinggal, di ujung hidungku. Tadi, seusai resepsi, kucium dia di tengkuknya. Jadi aroma parfumnya ikut juga. Memang, itu parfum cowok. Tapi mau bagaimana lagi? Adanya cuma itu. Aku membelinya di drugstore Bandara Juanda, Surabaya dua tahun lalu, sepulang dari Makassar.
Aku cium lagi tengkuknya. Ia tersenyum manja. Kebahagiaan terpancar di wajahnya. "Mau ngopi lagi, Mas?" tanyanya. Aku menggeleng, kudekap dia dari belakang, kemudian kita saling menempelkan pipi dan mematut-matut di depan cermin. Sepasang pengantin baru yang menikah diam-diam. Aku lihat matanya berbinar-binar. Ia bahagia.
Makna kebahagiaan bagiku hanyalah setetes warna yang lebih bersinar di antara warna-warna lain yang kusam. Setiap orang yang mampu meraih segala sesuatu yang diidam-idamkan, tentu merasa bahagia. Begitu pula aku. Seringkali aku merasa lelah mengembara dan ingin hidup layak seperti pada umumnya orang dengan menikah, berkeluarga, dan beranak pinak seperti yang disampaikan Allah kepada Nabi Ibrahim.
Dua minggu menjelang pernikahan, secara khusus memang aku memohon kepada kekuatan Yang Maha Dahsyat. Kekuatan paling purba, sebelum bumi dan tata surya ini tercipta. Di bawah pohon tua berumur ratusan tahun, di atas bukit kecil yang lembab, tepat tengah malam dan purnama penuh di angkasa, aku sampaikan permohonan keramatku itu. "Aku tidak butuh kekayaan, aku butuh istri dan sebuah keluarga," begitu doaku. Kun fayakun, terjadilah segala sesuatunya secepat kilat.
Pernikahanku juga berlangsung kilat. Memang, ketemunya sudah lama, dua tahun silam di acara pernikahan seorang artis dangdut top ibu kota. Belum ada getar-getar cinta kala itu. Pertemuan kedua terjadi di Jogja, di pinggir lapangan golf Hyatt Regency, Bogeys Teras. Biasa saja, semuanya berlangsung biasa. Cuma di tengah dentuman musik classic rock yang mengalun, dia mengatakan kepadaku setengah berbisik: "Kalau mau sama aku, harus serius…," katanya.
Langsung saja aku melamarnya malam itu juga. Ia pun mencium punggung tangan kananku. Resmilah kita mengikat janji. Sepuluh hari setelah malam "bertabur bintang" itu, terjadilah pernikahanku ini. Tanpa surat undangan dan wedding taart.
Perjalanan pernikahanku memang terkesan begitu indah. Tak ada cacat,
semua berjalan baik dan tenang. Ombaknya kecil, landai, dan bisa pasang layar sesuka hati. Langit biru tampak bersahabat di ujung cakrawala dan matahari bersinar ramah.
Kunikmati pernikahanku. Sedikit unik. Biasanya jok sebelah kemudiku selalu kosong. Paling, terisi dokumen pribadi dan beberapa bungkus rokok. Kini ada wanita cantik dengan rambut tergerai, tawa yang renyah dan sangat suka memakai aksen…gitu loh. "Liya gitu loh….," katanya menegaskan bahwa Liya beda dengan Lia.
Aku jadi mudah tertawa dibuatnya. Segala kata jadi berbunga-bunga, dan kita selalu mengurung diri di kamar berdua. Bercanda, berantem kecil-kecilan, saling merajuk dan tentu saja, bercinta.
"Aku pengin punya anak 9," kataku.
"Dua saja….Capek," jawabnya sambil menepuki perutnya.
Lalu kita berpelukan lagi. Seolah tidak ada cakrawala untuk luapan kegembiraan dan kebahagiaanku. Tidak ada yang membatasi. Tidak ada garis lurus yang memisahkan. Tidak seperti langit dan bumi yang dibelah di cakrawala. Segalanya serba los, bebas dan tak terbatas. Luar biasa. Aku selalu merindukan setiap menitnya.
Tawa ceria dan segala canda itu ternyata tidak berumur lama. Begitu cepat perginya. Sama cepatnya dengan proses pernikahanku. Kebahagiaan, agaknya, tidak pernah berpihak kepadaku. Segala sesuatunya berbalik 180 derajat. Sirna seketika. Berubah serba hitam. Galau. Gelap. Bergemuruh. Menghentak-hentak dan menyambar-nyambar. Setiap kata jadi bersayap-sayap. Salah paham muncul silih berganti. Kecemburuan, kecurigaan, dan pembicaraan-pembicaraan yang penuh teka-teki pun berebut mengganggu.
Salah ucap sedikit, menjelma jadi bara api. Berkilat-kilat. Aku sampai tidak sempat berdoa karena pikiranku tersita sepenuhnya untuk istriku. Kelakuannya berubah-ubah, sulit dipahami.
"Aku ingin sendiri," katanya pelan, tapi kurasakan seperti halilintar.
Menggelegar.
"Kita ini menikah, bukan pacaran. Ini Suro…harus serba hati-hati," kataku
mengingatkan.
"Hasyaahhhh….." Mukanya jadi cemberut dan bibirnya jadi tambah lancip.
Rambutnya yang dikucir bergoyang-goyang. Meski marah, kuakui, dia tetap saja menggemaskan.
Sambil menjentikkan abu rokok ke asbak, ia pun berargumentasi tentang pernak-pernik kegalauan perasaannya. Dari soal sepele sampai besar. "Aku tuh sukanya mobil-mobilan dan korek api, bukan bunga…Sabunku juga bukan yang itu, shamponya yang ini….." Mimik mukanya agak berkerut-kerut, ketika aku bawakan setangkai red rose yang dikemas plastik cantik.
Aku berusaha menyelami segala sesuatunya dengan hati-hati. Termasuk soal rumah, yang berkali-kali dilihat masih kurang cocok di hati. Kadang jengkel juga. Namun pernikahan tidak boleh terganggu dengan perasaan-perasaan yang tidak berguna seperti itu. Pernah aku berpikir kenapa harus begitu tergesa-gesa menikah?
"Aku sudah lelah dan jenuh dengan kehidupanku selama ini. Jadi aku
memutuskan untuk cepat menikah," katanya ketika itu.
Argumentasinya itu membuatku merasa menemukan wanita yang sudah matang. Masa lalu yang carut marut memang harus diakhiri ketika pernikahan terjadi. Ketika baju pengantin dikenakan dan akad nikah ditandatangani, maka masa lalu berakhirlah di situ. Pernikahan adalah sebuah lembaran baru yang serba bersih, sehingga kita bisa menuliskan apa pun di sana sesuka hati, tanpa harus dihantui lembaran-lembaran hitam masa lalu. Kisahnya harus dibuat sesuai tata nilai yang berlaku di masyarakat. Ditata seperti mengatur sebuah taman bunga. Agar segalanya serba semerbak dan mewangi. Sampai akhirnya lembaran pamungkasnya ditutup sendiri oleh Sang Khaliq. Pemilik hak atas seluruh hukum kehidupan. Ah, lumayan juga teoriku ini.
"Hanya kematian yang bisa memisahkan sepasang pengantin," kataku kepadanya. Ia tercenung beberapa jurus. Matanya yang indah terdiam beberapa saat. Lalu bola matanya berubah jadi abu-abu. Ia pun meledak-ledak lagi. Ada bau parfum yang berbeda dari tubuhnya, ketika ia berdiri sambil bersungut-sungut. Aku terhenyak. Berangkat kantor tadi pagi, memang ia sudah terlihat kusut. Tapi aku tidak memikirkannya terlalu dalam. Sewaktu turun mobil, ia hampir lupa mencium tanganku.
"Aku suamimu bukan?" tanyaku pelan, sambil kusodorkan tangan kananku.
Ia pun menciumnya. "Nanti dijemput jam berapa?" tanyaku lagi.
"Jam empat sore. Mundur satu jam," jawabnya, sambil bergegas turun.
Prahara itu pun dimulai. Bau parfum yang berbeda sepulang kantor, menjadi puncak dari seluruh masalah yang bertumpuk. Padahal sepulang kantor tadi kami sempat melihat sekali lagi rumah yang akan kami tempati.
"Besok aku mau naik bis kota saja. Nggak usah diantar jemput lagi," ujarnya sambil membanting tubuhnya ke kasur. Ia memunggungiku. Tampak jengkel.
Aku berharap keadaan itu hanya sementara saja. Seperti permasalahan-permasalahan kecil yang terjadi di hari-hari kemarin. Ternyata tidak. Besok-besoknya lagi, tetap sama. Terus-menerus begitu. Sehari dua hari. Seminggu dua minggu. Seluruh saluran komunikasi ditutup. Ia pun ganti nomor hand phone. Aku takut membayangkan kenyataan yang bisa membuatku bersedih.
"Ini hanya sementara…," katanya ketika aku nekat menemuinya, di siang yang terik. "Sementara…," itulah kata-kata yang aku jadikan pegangan. Meski berat dan dipenuhi ribuan teka-teki, aku berusaha meyakini janjinya itu.
Kehidupanku pun limbung. Aku kembali melangkah tanpa kepastian, tak ada teman selain rindu dan harapan. Keinginanku untuk menjalani kehidupan masa lalu kembali menggelegak lagi. Mengembara. Ya, mengembara. Akulah, pengembara itu!
Aku harus kembali berteman dengan alam, dengan orang-orang yang hidup
sederhana di ujung-ujung desa, di pegunungan dan di pinggir-pinggir pantai. Bertemu orang-orang yang tulus mencintaiku, menerimaku dengan tangan terbuka, tanpa rasa curiga, saling pengertian dan tidak mengkhianati. Aku merasa bahagia. Apalagi kalau mereka berduyun-duyun di belakangku, mengikutiku berdoa.
"Tapi ya Allah, apakah Engkau tidak mengizinkan aku memiliki sebuah keluarga, keturunan, dan generasi pewaris?" gumamku ketika aku datang lagi ke pohon besar di atas bukit yang lembab itu.
Selang beberapa saat, tiba-tiba melodi Songete mengalun dari hand phoneku. Debur ombak Laut Selatan hampir membuatku tidak mendengarnya. Ada SMS masuk, dadaku berdebar.
"Jeleeeeeeeeeeeeeek…where are u? Aku kangen tho sama Jelek. Ke sini tak buatin kopi…..!" begitu bunyi SMS-nya. Dari istriku.
Ah, ternyata itu SMS yang pending sejak empat minggu lalu. ***
01.34
Mimpi Terindah Sebelum Mati
Cerpen Maya Wulan
RAMADHANI, sekalipun sedang sekarat, aku masih ingat dengan ucapanku pada suatu kali. Di satuan waktu yang lain, berkali-kali kukatakan kelak aku akan lebih dulu pergi darimu. "Mati muda," kataku datar. Dan kau selalu saja mengunci mulutku dengan cara mencium bibirku. Memutus kata-kataku yang menurutmu tidak pantas. Hanya saja pada satu waktu, sebelum akhirnya kita harus berpisah untuk meluncur dihembuskan ke perut bumi, kau sempat menampar pipi kiriku ketika lagi-lagi aku mengulang kalimat tentang kematian itu. Tidak ada lagi ciuman seperti biasanya. Aku berpikir mungkin kau sudah tak bisa bersabar menghadapiku. Atau kau terlalu takut? Padahal aku sudah begitu sering bicara tentang daun yang bertuliskan namaku di ranting pohon itu. Bahwa dia, kataku, sedang menguning dan beranjak kering untuk kemudian bersegera gugur. Usianya sangat pendek, tidak akan sampai menyaingi usia kita di sana.
Tetapi kemudian kita bertemu lagi di tempat yang kita sebut kehidupan. Hanya saja situasi yang ada sangat berbeda. Kita masih seusia, tetapi tidak bisa dikatakan sebagai seorang yang dewasa. Bicara saja kita masih tidak tertata rapi. Ke sana kemari, khas bahasa anak-anak. Semua sangat berbeda dengan apa yang pernah kita lalui bersama di satuan waktu yang lampau. Sebelum kita berdua tertiupkan ke alam ini.
NAFASKU terpatah-patah. Aku merasa sangat lelah. Seperti seorang perempuan renta yang sedang menunggu masa tutup usia. Berjalan hanya dalam khayal yang sesungguhnya kedua kaki tak pernah melangkah kemana pun. Tapi aku memang belum tua. Meski juga tak bisa berlari-lari. Aku hanya terus berbaring dan berbaring. Sejak kepergian ayahku ke surga. Mataku masih menampung sekian banyak buliran bening yang belum mendapat giliran untuk tumpah. Aku terlanjur tertidur. Dan kini, aku bermimpi.
Ayahku berdiri dalam nuansa yang begitu lembut namun terkesan asing bagiku. Aku mencoba memanggilnya, tetapi suaraku tersumbat di tenggorokanku yang kering. Sudah lama sekali aku tidak minum air lewat mulutku. Hanya selang infus itu yang terus menembus tangan kananku selama ini. Ayahku begitu sunyi, seolah tak melihat kehadiranku di sini. Barangkali debur rindu di dadaku yang membuncah tak cukup keras untuk menjadi tanda keinginanku bertemu dengannya?
Aku melihat lagi gambaran ketika ayahku meninggalkanku dan ibuku. "Ayah harus ke luar negeri," kata ibuku padaku suatu malam.
"Untuk apa?" tanyaku.
"Untuk bekerja," sahut ayahku. "Ayah janji tidak akan pergi lama. Kau bisa menandai hari dengan terus mencoreti setiap penanggalan di kalender meja kerja ayah. Setiap hari. Dan tanpa kau sadari, ayah sudah akan kembali di sini."
Aku memasang wajah tak percaya, "Ayah janji?"
Ayahku mengangguk mantap. Ibuku tersenyum melihat tingkahku. Dan aku mengantarkannya ke bandara dengan berat hati.
Selanjutnya, aku disibukkan dengan mencoreti kalender milik ayahku. Tetapi ayahku pergi begitu lama. Sampai aku kelelahan menunggu dan mulai malas mencoreti kalender seperti yang pernah diminta ayah. Aku mulai menangis dan marah pada ibuku, juga semua orang. Tubuhku melemah karena aku selalu menolak makanan bahkan minuman. Aku enggan bicara, termasuk pada teman sepermainanku, Ramadhani. Sampai suatu hari ibuku mengatakan kalau ayahku tidak akan pulang lagi. "Ayah sudah terbang ke surga," katanya.
Sejak itu aku sangat membenci angka-angka. Aku benci penanggalan dan tidak mau melihat kalender terpajang di rumah. Aku benci menghitung sesuatu. Aku juga mulai suka melukai diriku sendiri. Hingga akhirnya aku jatuh sakit dan harus terbaring di rumah sakit yang bagiku baunya sangat tidak enak.
Bayangan ayahku dan nuansa lembut itu perlahan-lahan memudar. Aku mencari-cari dan menajamkan pandanganku, tetapi percuma. Di hadapanku, suasana berganti menjadi demikian putih dan rapat oleh kabut tebal yang mengeluarkan hawa dingin. Satu sosok laki-laki dewasa tampak berjalan menembus kabut menuju padaku. Tubuhnya jauh lebih tinggi dariku. Dia tersenyum dan menggandeng tanganku. Kulit tangannya terasa begitu halus di telapakku.
Sambil mengajakku untuk duduk, laki-laki itu bercerita tentang langit dan menyebut-nyebut surga. Aku teringat pada ayahku dan bertanya kepada laki-laki di sebelahku, "Apa ayahku ada di sana?"
"Benar," jawabnya.
"Di mana?"
"Di langit ke tujuh."
"Apa kita bisa ke sana?" tanyaku tak sabar.
"Kelak kita akan ke sana. Tapi, ada syaratnya."
"Apa syaratnya?" sahutku semangat.
"Kau terlebih dulu harus bisa menghitung jumlah langit itu. Kalau tidak, kau tidak akan bisa sampai ke tempat ayahmu. Karena kau akan tersesat."
"Kalau begitu lupakan! Aku tidak mau menghitung. Aku benci angka-angka!" aku berteriak.
"Di langit, kau juga bisa menghitung bintang-bintang."
"Aku tidak mau menghitung langit atau apa pun."
"Percayalah, kau akan menyukainya."
"Untuk apa aku menghitung bintang-bintang?"
"Mungkin di sana ayahmu juga sedang menghitung bintang-bintang."
"Benarkah?"
Laki-laki itu mengangguk. Aku memeluknya tanpa ragu-ragu. Suasana begitu hening mengurung kami berdua. Aku menyandarkan kepalaku ke dada laki-laki itu. Tidak ada suara apa pun di tempat ini, kecuali detak jantungku sendiri. Degup yang sudah cukup lama ini terasa sangat lemah. Aku menikmati detak jantungku yang menjelma nada indah tersendiri bagiku.
"Apa kita bisa menghitung suara ini?" kataku menunjuk bunyi jantungku.
"Ya, tentu. Hitunglah. Akan sangat menyenangkan kalau kita menghitung sesuatu yang kita sukai."
"Apa suara ini akan selalu berbunyi selamanya?"
"Tidak. Dia akan berhenti, kalau kau sudah mati."
"Mati? Pergi ke surga, seperti ayahku? Begitukah?"
"Ya."
"Kalau aku mati, apa aku bisa bertemu ayahku?"
"Tentu saja."
"Aku ingin sekali suara ini berhenti berbunyi," kataku pelan.
"Ibumu akan bersedih jika kau meninggalkannya," jawab laki-laki itu.
"Jangan beritahu ibuku kalau aku mati. Berjanjilah untuk diam. Seperti yang dilakukan ibu padaku dulu, ketika ayah meninggalkan kami."
"Bagaimana dengan temanmu, Ramadhani?"
Aku terhenyak. Ramadhani? Ah, aku melupakannya. Apa aku tega meninggalkannya begitu saja? Tapi…bukankah aku sudah mengatakan hal ini kepadanya dulu, di satuan waktu yang lain? Tentu dia akan mengerti.
Aku baru saja akan mengatakan pada laki-laki itu bahwa Ramadhani akan baik-baik saja jika harus kutinggalkan, tetapi dia telah lenyap dari pandanganku. Aku tidak lagi berada dalam pelukannya. Suasana yang putih berkabut kini berganti dengan taman yang sangat indah dan penuh bunga. Aroma wangi dari kelopak-kelopak yang bermekaran memenuhi tempat yang belum pernah sekalipun kutemui ini.
Saat itu, di kejauhan, aku kembali melihat sosok ayahku berdiri sendiri. Kali ini dia menatap ke arahku dan tersenyum. Aku membalas senyumannya dengan berjalan menujunya. Tetapi pandanganku mendadak mengabur. Aku berjalan terus sampai semuanya semakin tak terlihat olehku. Aku menghentikan langkahku dengan rasa kecewa.
Aku teringat pada teman kecilku. Ramadhani, kalau setelah ini aku harus pergi, maka semua yang kulihat barusan akan menjadi satu mimpi terindah sebelum matiku. Kataku dalam hati.
AKU lihat kau duduk di samping pembaringanku. Matamu teduh tetapi berkaca-kaca. Ruangan rumah sakit ini lebih tampak seperti kamar mayat. Dingin, sepi, dan jiwa-jiwa yang beku. Aku masih tertidur. Sesekali berteriak menyapamu, tetapi kau tak mendengarku. Mimpi yang kulihat masih tersisa dengan kaburnya. Kau takkan percaya, Ramadhani, aku bertemu ayahku dalam mimpiku.
Aku teringat dunia yang lain. Waktu kau, Ramadhani, menciumi bibirku ketika aku bicara tentang mati. Tapi kini kau tampak sedikit berbeda. Wajahmu terlihat sangat ketakutan seolah sedang menonton opera kematian. Dan, ah, Ramadhani, lihat! Ayahku datang lagi. Mimpiku jelas kembali. Dengan cepat aku menenggelamkan diri di gambaran mimpiku.
Di belakangku, ayahku merentangkan tangannya untukku. Dadaku penuh rasa rindu yang tak tertawar lagi. Dan…di arah yang berlawanan, "Hei, itu kau, Ramadhani. Kau juga di sini?" tanyaku. Tapi kau diam. Kaku. Tak lama kemudian kau memanggil namaku dengan sangat pelan. Nyaris tak terdengar olehku. Sebenarnya kau mau aku datang padamu atau tidak?
Aku tak bisa memilih. Antara ayahku dan kau, dalam mimpiku. Napasku sudah total terengah-engah. Ini melelahkan, Ramadhani. Tetapi juga menyenangkan. Pengalaman unik yang tak bisa sembarangan diceritakan. Aku yakin sekali ini jauh lebih menarik daripada menghitung langit atau bintang.
Kemudian semua terpastikan. Seseorang di atas kepalaku, menarik sesuatu dari tubuhku. Ada yang terlepas dengan begitu lekas. Sangat cepat, tetapi sempat membuatku tercekat.
Aku lupa semua mimpiku. Tiba-tiba ayahku sudah memelukku dengan eratnya. Sementara kau menangis di pelukan ibuku, di ujung pembaringanku. Dokter mencabut selang infusku. Aku berteriak untukmu, "Aku akan merindukan ciumanmu, Ramadhani." Tapi lagi-lagi kau tak dapat mendengarku, melainkan hanya terus menangis. ***
RAMADHANI, sekalipun sedang sekarat, aku masih ingat dengan ucapanku pada suatu kali. Di satuan waktu yang lain, berkali-kali kukatakan kelak aku akan lebih dulu pergi darimu. "Mati muda," kataku datar. Dan kau selalu saja mengunci mulutku dengan cara mencium bibirku. Memutus kata-kataku yang menurutmu tidak pantas. Hanya saja pada satu waktu, sebelum akhirnya kita harus berpisah untuk meluncur dihembuskan ke perut bumi, kau sempat menampar pipi kiriku ketika lagi-lagi aku mengulang kalimat tentang kematian itu. Tidak ada lagi ciuman seperti biasanya. Aku berpikir mungkin kau sudah tak bisa bersabar menghadapiku. Atau kau terlalu takut? Padahal aku sudah begitu sering bicara tentang daun yang bertuliskan namaku di ranting pohon itu. Bahwa dia, kataku, sedang menguning dan beranjak kering untuk kemudian bersegera gugur. Usianya sangat pendek, tidak akan sampai menyaingi usia kita di sana.
Tetapi kemudian kita bertemu lagi di tempat yang kita sebut kehidupan. Hanya saja situasi yang ada sangat berbeda. Kita masih seusia, tetapi tidak bisa dikatakan sebagai seorang yang dewasa. Bicara saja kita masih tidak tertata rapi. Ke sana kemari, khas bahasa anak-anak. Semua sangat berbeda dengan apa yang pernah kita lalui bersama di satuan waktu yang lampau. Sebelum kita berdua tertiupkan ke alam ini.
NAFASKU terpatah-patah. Aku merasa sangat lelah. Seperti seorang perempuan renta yang sedang menunggu masa tutup usia. Berjalan hanya dalam khayal yang sesungguhnya kedua kaki tak pernah melangkah kemana pun. Tapi aku memang belum tua. Meski juga tak bisa berlari-lari. Aku hanya terus berbaring dan berbaring. Sejak kepergian ayahku ke surga. Mataku masih menampung sekian banyak buliran bening yang belum mendapat giliran untuk tumpah. Aku terlanjur tertidur. Dan kini, aku bermimpi.
Ayahku berdiri dalam nuansa yang begitu lembut namun terkesan asing bagiku. Aku mencoba memanggilnya, tetapi suaraku tersumbat di tenggorokanku yang kering. Sudah lama sekali aku tidak minum air lewat mulutku. Hanya selang infus itu yang terus menembus tangan kananku selama ini. Ayahku begitu sunyi, seolah tak melihat kehadiranku di sini. Barangkali debur rindu di dadaku yang membuncah tak cukup keras untuk menjadi tanda keinginanku bertemu dengannya?
Aku melihat lagi gambaran ketika ayahku meninggalkanku dan ibuku. "Ayah harus ke luar negeri," kata ibuku padaku suatu malam.
"Untuk apa?" tanyaku.
"Untuk bekerja," sahut ayahku. "Ayah janji tidak akan pergi lama. Kau bisa menandai hari dengan terus mencoreti setiap penanggalan di kalender meja kerja ayah. Setiap hari. Dan tanpa kau sadari, ayah sudah akan kembali di sini."
Aku memasang wajah tak percaya, "Ayah janji?"
Ayahku mengangguk mantap. Ibuku tersenyum melihat tingkahku. Dan aku mengantarkannya ke bandara dengan berat hati.
Selanjutnya, aku disibukkan dengan mencoreti kalender milik ayahku. Tetapi ayahku pergi begitu lama. Sampai aku kelelahan menunggu dan mulai malas mencoreti kalender seperti yang pernah diminta ayah. Aku mulai menangis dan marah pada ibuku, juga semua orang. Tubuhku melemah karena aku selalu menolak makanan bahkan minuman. Aku enggan bicara, termasuk pada teman sepermainanku, Ramadhani. Sampai suatu hari ibuku mengatakan kalau ayahku tidak akan pulang lagi. "Ayah sudah terbang ke surga," katanya.
Sejak itu aku sangat membenci angka-angka. Aku benci penanggalan dan tidak mau melihat kalender terpajang di rumah. Aku benci menghitung sesuatu. Aku juga mulai suka melukai diriku sendiri. Hingga akhirnya aku jatuh sakit dan harus terbaring di rumah sakit yang bagiku baunya sangat tidak enak.
Bayangan ayahku dan nuansa lembut itu perlahan-lahan memudar. Aku mencari-cari dan menajamkan pandanganku, tetapi percuma. Di hadapanku, suasana berganti menjadi demikian putih dan rapat oleh kabut tebal yang mengeluarkan hawa dingin. Satu sosok laki-laki dewasa tampak berjalan menembus kabut menuju padaku. Tubuhnya jauh lebih tinggi dariku. Dia tersenyum dan menggandeng tanganku. Kulit tangannya terasa begitu halus di telapakku.
Sambil mengajakku untuk duduk, laki-laki itu bercerita tentang langit dan menyebut-nyebut surga. Aku teringat pada ayahku dan bertanya kepada laki-laki di sebelahku, "Apa ayahku ada di sana?"
"Benar," jawabnya.
"Di mana?"
"Di langit ke tujuh."
"Apa kita bisa ke sana?" tanyaku tak sabar.
"Kelak kita akan ke sana. Tapi, ada syaratnya."
"Apa syaratnya?" sahutku semangat.
"Kau terlebih dulu harus bisa menghitung jumlah langit itu. Kalau tidak, kau tidak akan bisa sampai ke tempat ayahmu. Karena kau akan tersesat."
"Kalau begitu lupakan! Aku tidak mau menghitung. Aku benci angka-angka!" aku berteriak.
"Di langit, kau juga bisa menghitung bintang-bintang."
"Aku tidak mau menghitung langit atau apa pun."
"Percayalah, kau akan menyukainya."
"Untuk apa aku menghitung bintang-bintang?"
"Mungkin di sana ayahmu juga sedang menghitung bintang-bintang."
"Benarkah?"
Laki-laki itu mengangguk. Aku memeluknya tanpa ragu-ragu. Suasana begitu hening mengurung kami berdua. Aku menyandarkan kepalaku ke dada laki-laki itu. Tidak ada suara apa pun di tempat ini, kecuali detak jantungku sendiri. Degup yang sudah cukup lama ini terasa sangat lemah. Aku menikmati detak jantungku yang menjelma nada indah tersendiri bagiku.
"Apa kita bisa menghitung suara ini?" kataku menunjuk bunyi jantungku.
"Ya, tentu. Hitunglah. Akan sangat menyenangkan kalau kita menghitung sesuatu yang kita sukai."
"Apa suara ini akan selalu berbunyi selamanya?"
"Tidak. Dia akan berhenti, kalau kau sudah mati."
"Mati? Pergi ke surga, seperti ayahku? Begitukah?"
"Ya."
"Kalau aku mati, apa aku bisa bertemu ayahku?"
"Tentu saja."
"Aku ingin sekali suara ini berhenti berbunyi," kataku pelan.
"Ibumu akan bersedih jika kau meninggalkannya," jawab laki-laki itu.
"Jangan beritahu ibuku kalau aku mati. Berjanjilah untuk diam. Seperti yang dilakukan ibu padaku dulu, ketika ayah meninggalkan kami."
"Bagaimana dengan temanmu, Ramadhani?"
Aku terhenyak. Ramadhani? Ah, aku melupakannya. Apa aku tega meninggalkannya begitu saja? Tapi…bukankah aku sudah mengatakan hal ini kepadanya dulu, di satuan waktu yang lain? Tentu dia akan mengerti.
Aku baru saja akan mengatakan pada laki-laki itu bahwa Ramadhani akan baik-baik saja jika harus kutinggalkan, tetapi dia telah lenyap dari pandanganku. Aku tidak lagi berada dalam pelukannya. Suasana yang putih berkabut kini berganti dengan taman yang sangat indah dan penuh bunga. Aroma wangi dari kelopak-kelopak yang bermekaran memenuhi tempat yang belum pernah sekalipun kutemui ini.
Saat itu, di kejauhan, aku kembali melihat sosok ayahku berdiri sendiri. Kali ini dia menatap ke arahku dan tersenyum. Aku membalas senyumannya dengan berjalan menujunya. Tetapi pandanganku mendadak mengabur. Aku berjalan terus sampai semuanya semakin tak terlihat olehku. Aku menghentikan langkahku dengan rasa kecewa.
Aku teringat pada teman kecilku. Ramadhani, kalau setelah ini aku harus pergi, maka semua yang kulihat barusan akan menjadi satu mimpi terindah sebelum matiku. Kataku dalam hati.
AKU lihat kau duduk di samping pembaringanku. Matamu teduh tetapi berkaca-kaca. Ruangan rumah sakit ini lebih tampak seperti kamar mayat. Dingin, sepi, dan jiwa-jiwa yang beku. Aku masih tertidur. Sesekali berteriak menyapamu, tetapi kau tak mendengarku. Mimpi yang kulihat masih tersisa dengan kaburnya. Kau takkan percaya, Ramadhani, aku bertemu ayahku dalam mimpiku.
Aku teringat dunia yang lain. Waktu kau, Ramadhani, menciumi bibirku ketika aku bicara tentang mati. Tapi kini kau tampak sedikit berbeda. Wajahmu terlihat sangat ketakutan seolah sedang menonton opera kematian. Dan, ah, Ramadhani, lihat! Ayahku datang lagi. Mimpiku jelas kembali. Dengan cepat aku menenggelamkan diri di gambaran mimpiku.
Di belakangku, ayahku merentangkan tangannya untukku. Dadaku penuh rasa rindu yang tak tertawar lagi. Dan…di arah yang berlawanan, "Hei, itu kau, Ramadhani. Kau juga di sini?" tanyaku. Tapi kau diam. Kaku. Tak lama kemudian kau memanggil namaku dengan sangat pelan. Nyaris tak terdengar olehku. Sebenarnya kau mau aku datang padamu atau tidak?
Aku tak bisa memilih. Antara ayahku dan kau, dalam mimpiku. Napasku sudah total terengah-engah. Ini melelahkan, Ramadhani. Tetapi juga menyenangkan. Pengalaman unik yang tak bisa sembarangan diceritakan. Aku yakin sekali ini jauh lebih menarik daripada menghitung langit atau bintang.
Kemudian semua terpastikan. Seseorang di atas kepalaku, menarik sesuatu dari tubuhku. Ada yang terlepas dengan begitu lekas. Sangat cepat, tetapi sempat membuatku tercekat.
Aku lupa semua mimpiku. Tiba-tiba ayahku sudah memelukku dengan eratnya. Sementara kau menangis di pelukan ibuku, di ujung pembaringanku. Dokter mencabut selang infusku. Aku berteriak untukmu, "Aku akan merindukan ciumanmu, Ramadhani." Tapi lagi-lagi kau tak dapat mendengarku, melainkan hanya terus menangis. ***
01.28
Kupu-Kupu Tidur
Cerpen Wawan Setiawan
Kupu-kupu itu bersayap kuning, terbang ke sana kemari di tanah samping. Coba lihat, ia sedang mencari sesuatu, di balik daun bunga sepatu. O, ternyata benar, ia sedang menitipkan telurnya. Nanti telur-telur itu jadi ulat. Ulat-ulat itu merayap dari daun ke daun. Memangsa daun-daun itu, nyaem nyaem nyaem, ia besar, gemuk, lalu masuk ke kepompong. Nah sudah. Coba lihat, dari satu ujung lubang kepompong, lepaslah seekor kupu-kupu, warnanya kuning, seperti induknya.
Aku mengimajikan proses itu. Sebuah proses alami. Alam telah menyediakan segala sesuatunya, agar semuanya dapat berproses, tentu secara alami pula. Kupu-kupu kuning tadi telah pergi, ke halaman rumah tetangga. Di samping rumah ada sirsak, pisang, mangga, dan pepaya. Ada juga bluntas dan gambas. Di bawah pohon dan perdu itu, sedikit menghampar rumput hijau, halus, enak di kaki. Di halaman depan, sama, ada rumput hijau. Di atasnya, ada pepaya, alamanda, cemara pipih, dan melati. Tanaman itu mengisi hari-hariku, ya di tengah-tengah alam semesta yang besar dan "tenang" ini, aku ditimpa keraguan, kebimbangan.
"Hesti, aku sudah mempertaruhkan hidupku, tapi jalan hidup ternyata lain. Aku tak sanggup lagi mampir di rumah kita, yang konon bertabur bintang berjuta. Berbulan bundar, persis harapanku. Tapi bulan dan bintang di rumah kita adalah milikmu. Aku ditakdirkan tidak memilikinya."
Itu ucapan Sapto. Lelaki itu kemudian tak lagi kembali. Sapto telah pergi, lenyap ditelan kebiruan gunung. Sapto mengembara dari gunung ke gunung yang konon wilayah warisan nenek moyangnya.
"Ya, Sapto, bila itu jalan hidupmu, pilihanmu, setialah pada janjimu, pada dirimu. Aku tak kuasa. Jalan hidup kita memang beda. Memang telah kuserahkan diriku padamu, tapi tampaknya tak dapat penuh. Kuserahkan diriku hanya separuh, dan kau menerimanya juga dengan separuh dirimu. Kita sama-sama mengerti. Dan akhirnya memaklumi. Di tengah alam semesta yang besar ini, aku akhirnya sendiri. Bapak ibuku sudah pergi. Adik satu-satuku sudah dibawa suami. Di rumah ini, bagai seorang paranormal, aku merajut masa depan yang gambar-gambarnya samar-samar."
Tak kusadari air mata menetes, tak banyak, hanya satu dua. Tapi itu sudah cukup. Keterharuanku pada jalan hidupku membuatku mengerti, bahwa setiap orang akan digiring kepada jalan hidupnya masing-masing. Ada yang ikhlas menerima, ada yang memberontakinya.
Lelaki itu dulu kutemui di bangsal sebuah gedung teater. Saat itu ada latihan drama. Saat itu aku baru lulus sarjana akuntansi. Meskipun aku suka hitung-menghitung, aku juga suka nonton drama. Bahkan latihan sebelum main, kutonton juga. Itu seperti kita kalau makan kue Hari Raya yang akan dipanaskan dalam van. Rasanya sudah enak, dan memang sudah bisa dinikmati. Dalam kisah drama yang kutonton, ada bagian peristiwa yang menampilkan sisi kehidupan seorang paranormal. Dikisahkan, paranormal pamit pada istrinya untuk bertapa di sebuah lereng gunung di selatan kota. Tapi pertapanya gagal karena tergoda seorang wanita. Sang pertapa kemudian kembali lagi menjadi orang biasa. Entah dari mana Sapto tahu ada latihan drama di Gedung Pemuda pusat kota itu. Sapto sendiri hanya tamat SMA. Ia memilih belajar sendiri dari hal-hal yang dia sukai, dan sangat antusias dengan astronomi, astrologi, serta ekonomi makro. Selain itu, ia menggandrungi puisi dan pijat refleksi. Mungkin background inilah yang mendorongnya datang ke Gedung Pemuda.
Waktu itu, entah bagaimana, aku dan Sapto terlibat diskusi perihal paranormal yang tergoda tadi. Dari diskusi itulah, perkenalan berlanjut. Sapto ternyata orang yang sangat menyayangi tubuhnya. Setelah pernikahan, ia pelit berhubungan seks. Alasannya, tubuh adalah kuil Tuhan, rumah ruh berdomisili. Dan jika ruh menempati sebuah tubuh, itu merupakan perjuangan yang sangat berat, sungguh berat. Sang ruh harus bernego dulu dengan para malaikat pengurus kelahiran. Karena begitu banyak ruh yang ingin atau harus lahir di bumi, maka negosiasi sungguh alot. Dihitung dulu talenta, kemungkinan-kemungkinan prestasi, fleksibilitas dengan cuaca tempat tubuh dilahirkan, atau komplikasi-komplikasi yang mungkin muncul dengan keluarga inti, keluarga besar, suku, dan masyarakat luas. Melihat kesulitan negosiasi, dan kecermatan seleksi di dunia sana, Sapto sangat bersyukur telah bisa lahir ke bumi. Karena itu, sekali lagi, Sapto sangat menghormati tubuh. Tubuh tak boleh semena-mena dikorbankan demi sensasi seks yang tak kunjung habis.
Hernowo? Ya, dialah itu, Hernowo. Lelaki itu adalah suami keduaku. Aku bertemu dengannya, lagi-lagi, ketika ada acara latihan drama. Waktu itu pagi nan dingin, di pinggirian kota, sebuah kelompok teater sedang berlatih pernapasan. Aku diajak seorang teman, aku ikut namun sekadar menonton; sambil baca-baca koran pagi, kudengar mereka teriak-teriak. Mereka disadarkan oleh Hernowo: baik ketika udara masuk atau keluar, yang bergerak hanyalah Tuhan. Dengan sugesti itu, mereka tak hanya diingatkan oleh pentingnya udara, namun juga oleh pentingnya "Tuhan".
Hernowo adalah seorang suami yang nafsu seksnya kuat. Mungkin dampak dari latihan pernapasan digabung dengan bawaan dari sono-nya. Tak seperti Sapto yang kikir seks, Hernowo boros. Sehingga sering aku dibikin kewalahan.
"Hesti, kecerdasanku adalah maksimal. Namun tampaknya aku kewalahan meladenimu diskusi. Semangat hidupku terlalu besar, sayang kurang diimbangi daya intelektual." Demikian pengakuan Hernowo suatu malam, setelah melakukan hubungan suami istri entah yang ke berapa ribu kali.
"Tapi kau pelaku yang baik, man of action. Kamu mampu menghimpun orang-orang, menggerakkan mereka, meski gerakan mereka di atas panggung. Aku lega dipertemukan Tuhan bersuamikan dirimu." Demikian hiburku pada malam yang lain sambil melap-lap tubuhnya yang penuh keringat. Kusuapi dia dengan STMJ khas diriku seperti yang diminatinya.
Sebenarnya aku sudah mulai bisa tinggal di dalam hatinya. Dia juga sangat kerasan hidup di hatiku. Tapi sayang seribu sayang, melalui cerita seorang teman, dan juga aku pernah tahu sendiri, Hernowo masih punya waktu berpacaran dengan salah satu anak buah teaternya. Kerinduanku pada keindahan romantisme perkawinan pupus sudah. Mungkin karena dia menganggapku janda yang kesetiaannya sudah terkoyak.
"Sudahlah, sudah. Kau bisa bayangkan sendiri, di sudut kamarmu yang remang-remang, bahwa akhirnya aku bercerai dengan Hernowo. Hernowo itu terlalu alamiah. Termasuk dalam hal bercinta. Tak apalah. Biarlah semua mengalir, Pantha Rei. Aku mengalir. Sapto mengalir. Hernowo juga mengalir."
Kembali mataku menangkap kepak kupu-kupu kuning itu dengan kesepianku yang lengkap. Aku tak mau lagi jadi ulat. Aku ingin jadi kupu-kupu. Ulat merayap dari daun ke daun. Kupu-kupu itu terbang dari bunga ke bunga, taman ke taman. Aku ingin terbang. Dan ini yang penting, aku tak ingin memakai dua sayap yang di situ ada Sapto dan Hernowo. Dulu aku terbang dengan sayap Ibu dan Bapakku. Kemudian aku terbang dengan sayap Sapto dan Hernowo. Aku ingin menciptakan sayap sendiri, sayap khas Hesti. Mungkin bahan bakunya dari Ibu, Bapak, Sapto, dan Hernowo, atau yang lain.
Dalam kesepianku, kini, aku menekuri diriku yang sibuk merajut sayap. Tak apa, mumpung angkasa masih menyediakanku ruang. Diriku belum sama sekali hampa. Lingkunganku masih tertawa dan terbuka. Kotaku, meski tetap angkuh, toh masih mau menyapa.
Kulihat diriku menekuri diriku. Di sela-sela berbagai daunan berembun, bagai peri, aku mulai melesat dari daun ke daun. Dan kulihat dari pohon ke pohon. Sedang di atas angkasa membuka mulutnya yang tak bertepi, dibanjiri sinar mentari.
Kupu-kupu itu bersayap kuning, terbang ke sana kemari di tanah samping. Coba lihat, ia sedang mencari sesuatu, di balik daun bunga sepatu. O, ternyata benar, ia sedang menitipkan telurnya. Nanti telur-telur itu jadi ulat. Ulat-ulat itu merayap dari daun ke daun. Memangsa daun-daun itu, nyaem nyaem nyaem, ia besar, gemuk, lalu masuk ke kepompong. Nah sudah. Coba lihat, dari satu ujung lubang kepompong, lepaslah seekor kupu-kupu, warnanya kuning, seperti induknya.
Aku mengimajikan proses itu. Sebuah proses alami. Alam telah menyediakan segala sesuatunya, agar semuanya dapat berproses, tentu secara alami pula. Kupu-kupu kuning tadi telah pergi, ke halaman rumah tetangga. Di samping rumah ada sirsak, pisang, mangga, dan pepaya. Ada juga bluntas dan gambas. Di bawah pohon dan perdu itu, sedikit menghampar rumput hijau, halus, enak di kaki. Di halaman depan, sama, ada rumput hijau. Di atasnya, ada pepaya, alamanda, cemara pipih, dan melati. Tanaman itu mengisi hari-hariku, ya di tengah-tengah alam semesta yang besar dan "tenang" ini, aku ditimpa keraguan, kebimbangan.
"Hesti, aku sudah mempertaruhkan hidupku, tapi jalan hidup ternyata lain. Aku tak sanggup lagi mampir di rumah kita, yang konon bertabur bintang berjuta. Berbulan bundar, persis harapanku. Tapi bulan dan bintang di rumah kita adalah milikmu. Aku ditakdirkan tidak memilikinya."
Itu ucapan Sapto. Lelaki itu kemudian tak lagi kembali. Sapto telah pergi, lenyap ditelan kebiruan gunung. Sapto mengembara dari gunung ke gunung yang konon wilayah warisan nenek moyangnya.
"Ya, Sapto, bila itu jalan hidupmu, pilihanmu, setialah pada janjimu, pada dirimu. Aku tak kuasa. Jalan hidup kita memang beda. Memang telah kuserahkan diriku padamu, tapi tampaknya tak dapat penuh. Kuserahkan diriku hanya separuh, dan kau menerimanya juga dengan separuh dirimu. Kita sama-sama mengerti. Dan akhirnya memaklumi. Di tengah alam semesta yang besar ini, aku akhirnya sendiri. Bapak ibuku sudah pergi. Adik satu-satuku sudah dibawa suami. Di rumah ini, bagai seorang paranormal, aku merajut masa depan yang gambar-gambarnya samar-samar."
Tak kusadari air mata menetes, tak banyak, hanya satu dua. Tapi itu sudah cukup. Keterharuanku pada jalan hidupku membuatku mengerti, bahwa setiap orang akan digiring kepada jalan hidupnya masing-masing. Ada yang ikhlas menerima, ada yang memberontakinya.
Lelaki itu dulu kutemui di bangsal sebuah gedung teater. Saat itu ada latihan drama. Saat itu aku baru lulus sarjana akuntansi. Meskipun aku suka hitung-menghitung, aku juga suka nonton drama. Bahkan latihan sebelum main, kutonton juga. Itu seperti kita kalau makan kue Hari Raya yang akan dipanaskan dalam van. Rasanya sudah enak, dan memang sudah bisa dinikmati. Dalam kisah drama yang kutonton, ada bagian peristiwa yang menampilkan sisi kehidupan seorang paranormal. Dikisahkan, paranormal pamit pada istrinya untuk bertapa di sebuah lereng gunung di selatan kota. Tapi pertapanya gagal karena tergoda seorang wanita. Sang pertapa kemudian kembali lagi menjadi orang biasa. Entah dari mana Sapto tahu ada latihan drama di Gedung Pemuda pusat kota itu. Sapto sendiri hanya tamat SMA. Ia memilih belajar sendiri dari hal-hal yang dia sukai, dan sangat antusias dengan astronomi, astrologi, serta ekonomi makro. Selain itu, ia menggandrungi puisi dan pijat refleksi. Mungkin background inilah yang mendorongnya datang ke Gedung Pemuda.
Waktu itu, entah bagaimana, aku dan Sapto terlibat diskusi perihal paranormal yang tergoda tadi. Dari diskusi itulah, perkenalan berlanjut. Sapto ternyata orang yang sangat menyayangi tubuhnya. Setelah pernikahan, ia pelit berhubungan seks. Alasannya, tubuh adalah kuil Tuhan, rumah ruh berdomisili. Dan jika ruh menempati sebuah tubuh, itu merupakan perjuangan yang sangat berat, sungguh berat. Sang ruh harus bernego dulu dengan para malaikat pengurus kelahiran. Karena begitu banyak ruh yang ingin atau harus lahir di bumi, maka negosiasi sungguh alot. Dihitung dulu talenta, kemungkinan-kemungkinan prestasi, fleksibilitas dengan cuaca tempat tubuh dilahirkan, atau komplikasi-komplikasi yang mungkin muncul dengan keluarga inti, keluarga besar, suku, dan masyarakat luas. Melihat kesulitan negosiasi, dan kecermatan seleksi di dunia sana, Sapto sangat bersyukur telah bisa lahir ke bumi. Karena itu, sekali lagi, Sapto sangat menghormati tubuh. Tubuh tak boleh semena-mena dikorbankan demi sensasi seks yang tak kunjung habis.
Hernowo? Ya, dialah itu, Hernowo. Lelaki itu adalah suami keduaku. Aku bertemu dengannya, lagi-lagi, ketika ada acara latihan drama. Waktu itu pagi nan dingin, di pinggirian kota, sebuah kelompok teater sedang berlatih pernapasan. Aku diajak seorang teman, aku ikut namun sekadar menonton; sambil baca-baca koran pagi, kudengar mereka teriak-teriak. Mereka disadarkan oleh Hernowo: baik ketika udara masuk atau keluar, yang bergerak hanyalah Tuhan. Dengan sugesti itu, mereka tak hanya diingatkan oleh pentingnya udara, namun juga oleh pentingnya "Tuhan".
Hernowo adalah seorang suami yang nafsu seksnya kuat. Mungkin dampak dari latihan pernapasan digabung dengan bawaan dari sono-nya. Tak seperti Sapto yang kikir seks, Hernowo boros. Sehingga sering aku dibikin kewalahan.
"Hesti, kecerdasanku adalah maksimal. Namun tampaknya aku kewalahan meladenimu diskusi. Semangat hidupku terlalu besar, sayang kurang diimbangi daya intelektual." Demikian pengakuan Hernowo suatu malam, setelah melakukan hubungan suami istri entah yang ke berapa ribu kali.
"Tapi kau pelaku yang baik, man of action. Kamu mampu menghimpun orang-orang, menggerakkan mereka, meski gerakan mereka di atas panggung. Aku lega dipertemukan Tuhan bersuamikan dirimu." Demikian hiburku pada malam yang lain sambil melap-lap tubuhnya yang penuh keringat. Kusuapi dia dengan STMJ khas diriku seperti yang diminatinya.
Sebenarnya aku sudah mulai bisa tinggal di dalam hatinya. Dia juga sangat kerasan hidup di hatiku. Tapi sayang seribu sayang, melalui cerita seorang teman, dan juga aku pernah tahu sendiri, Hernowo masih punya waktu berpacaran dengan salah satu anak buah teaternya. Kerinduanku pada keindahan romantisme perkawinan pupus sudah. Mungkin karena dia menganggapku janda yang kesetiaannya sudah terkoyak.
"Sudahlah, sudah. Kau bisa bayangkan sendiri, di sudut kamarmu yang remang-remang, bahwa akhirnya aku bercerai dengan Hernowo. Hernowo itu terlalu alamiah. Termasuk dalam hal bercinta. Tak apalah. Biarlah semua mengalir, Pantha Rei. Aku mengalir. Sapto mengalir. Hernowo juga mengalir."
Kembali mataku menangkap kepak kupu-kupu kuning itu dengan kesepianku yang lengkap. Aku tak mau lagi jadi ulat. Aku ingin jadi kupu-kupu. Ulat merayap dari daun ke daun. Kupu-kupu itu terbang dari bunga ke bunga, taman ke taman. Aku ingin terbang. Dan ini yang penting, aku tak ingin memakai dua sayap yang di situ ada Sapto dan Hernowo. Dulu aku terbang dengan sayap Ibu dan Bapakku. Kemudian aku terbang dengan sayap Sapto dan Hernowo. Aku ingin menciptakan sayap sendiri, sayap khas Hesti. Mungkin bahan bakunya dari Ibu, Bapak, Sapto, dan Hernowo, atau yang lain.
Dalam kesepianku, kini, aku menekuri diriku yang sibuk merajut sayap. Tak apa, mumpung angkasa masih menyediakanku ruang. Diriku belum sama sekali hampa. Lingkunganku masih tertawa dan terbuka. Kotaku, meski tetap angkuh, toh masih mau menyapa.
Kulihat diriku menekuri diriku. Di sela-sela berbagai daunan berembun, bagai peri, aku mulai melesat dari daun ke daun. Dan kulihat dari pohon ke pohon. Sedang di atas angkasa membuka mulutnya yang tak bertepi, dibanjiri sinar mentari.
01.25
Di salah satu bangku kayu panjang, bersisihan dengan remaja yang sedang bermesraan, Reyna duduk menghadap ke jalan. Hanya duduk. Mengamati kendaraan atau orang-orang yang melintas. Menunggu senja rebah di hamparan kota.
Tiba-tiba laki-laki itu sudah berada di depannya sambil mengulurkan tangan. "Apa kabar?" katanya memperlihatkan giginya yang kekuningan. Asap rokok telah menindas warna putihnya.
"Kamu di sini?" Reyna tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Segala rasa berpendaran dalam hatinya. Senang, sendu, haru, pilu, yang kesemuanya membuat Reyna ingin menjatuhkan dirinya dalam peluk lelaki itu.
Begitu juga Mozes, lelaki tua yang berdiri di depan Reyna. Dadanya bergemuruh hebat mendapati perempuan itu di depan matanya. Ingin ia memeluk, menciumi perempuan itu seperti dulu, tetapi tak juga dilakukannya.
Hingga Reyna kembali menguasai perasaannya, lalu menggeser duduknya memberi tempat Mozes di sebelahnya.
"Kaget?" tanya Mozes, duduk di sebelah Reyna.
Reyna tertawa kecil.
"Gimana?" tanya Reyna tak jelas arahnya. "Lama sekali nggak ketemu."
"Iya. Berapa tahun ya? Dua lima, tiga puluh?"
"Tiga puluh tahun!" jawab Reyna pasti.
"Ouw! Tiga puluh tahun. Dan kamu masih semanis dulu."
"Terima kasih," Reyna tersenyum geli. Masih ’semanis dulu’. Bukankah itu lucu? Kalaupun masih tampak cantik atau manis itu pasti tinggal sisanya saja. Kecantikan yang telah terbalut keriput di seluruh tubuhnya. Tapi kalimat itu tak urung membuat Reyna tersipu. Merasa bangga, tersanjung karenanya.
"Kapan datang?" tanya Reyna. Mulai berani lagi menatap mata lelaki di sebelahnya.
"Belum seminggu," jawab Mozes.
"Mencariku?" Reyna tersenyum. Sisa genitnya di masa muda.
Mozes tertawa berderai-derai. Lalu katanya pelan, "Aku turut berduka atas meninggalnya suamimu," tawanya menghilang.
Reyna tak menjawab sepatah pun. Bahkan ucapan terima kasih tidak juga meluncur dari bibirnya. Ia menerawang ke kejauhan. Detik berikutnya mata Reyna tampak berlinangan. Goresan luka di sudut hatinya kembali terkoyak. Rasa perih perlahan datang. Luka lama itu ternyata tak pernah mampu disembuhkannya. Semula ia menduga luka itu telah pulih, tetapi sore ini, ketika Mozes tiba-tiba muncul di hadapannya ia sadar luka itu masih ada. Tertoreh dalam di sudut perasaannya.
Reyna dan Mozes. Mozes pekerja film yang bukan saja terampil, tetapi juga cerdas dan kritis. Reyna pengelola media sebuah perusahaan terkemuka. Mereka bertemu karena Reyna harus membuat sebuah film sebagai media pencitraan perusahaannya. Reyna yang istri dan ibu seorang anak, dan Mozes yang duda. Dua orang muda yang masih segar, bersemangat, dan menawan. Dua orang yang kemudian saling jatuh cinta.
Reyna hampir saja meninggalkan Braham ketika itu. Ibu muda Reyna merasa menemukan sampan kecil untuk berlabuh. Meninggalkan malam-malamnya yang kelam bersama Braham. Pergi mengikuti aliran sungai kecil yang akan mengantarnya ke dermaga damai tanpa ketakutan, tanpa kesakitan. Berdua Mozes.
Tetapi sampan kecil itu ternyata begitu ringkih. Ia tak mampu menyangga beban berdua. Ia hanya ingin sesekali singgah, bermesra dan bercinta tanpa harus mengangkutnya. Mozes tak menginginkan ikatan apa pun antara dirinya dan Reyna. Ia ingin tetap bebas pergi ke mana pun ia ingin dan kembali kapan ia rindu. Kebebasan yang tak bisa Reyna terima. Maka sebelum perjalanan dimulai, ia memutuskan undur diri. Perempuan itu menyadari, bukan laki-laki seperti Mozes yang ia ingini untuk membebaskan dari derita malam-malamnya. Mozes berbeda dengan dirinya yang membutuhkan teman seperjalanan, ia hanya mencari ruang untuk membuang kepedihan dan mencari hiburan. Tak lebih.
"Berapa lama kamu akan tinggal?" tanya Reyna setelah gejolak perasaannya mereda.
"Entah. Mungkin sebulan, dua bulan, atau mungkin sepanjang sisa umurku," jawab Mozes, tanpa senyum, tanpa memandang Reyna. "Banyak hal yang memberati pikiran dan tak bisa kuceritakan pada siapa pun selama ini."
"Itu sebabnya kamu kemari?"
"Jakarta semakin sesak dan panas. Sementara Jogja masih tetap nyaman buat berkarya. Jadi kuputuskan kembali," lanjut Mozes tanpa mengacuhkan pertanyaan Reyna. "Begitu kembali seseorang bilang padaku, kamu sering di sini sore hari."
"Maka kamu mencariku. Berharap mengulang lagi hubungan dulu."
Mozes menggeleng.
"Atau membangun hubungan baru."
Mozes menggeleng lagi, "Tidak juga. Aku tidak butuh hubungan seperti itu. Aku hanya butuh teman ngobrol…"
"Teman bermesra, teman bercinta yang bisa kamu datangi dan kamu tinggal pergi. Tanpa tuntutan, tanpa ikatan!" potong Reyna. "Itu hubungan yang sejak dulu kamu inginkan bersamaku kan? Seperti sudah kubilang dulu, aku tidak bisa. Aku sudah memilih."
Kebekuan kembali merejam perasaan kedua orang tua itu. Langit perlahan kehilangan warna jingga. Satu per satu lampu di sekeliling mulai menyala. Ada rangkaian lampu-lampu kecil berbentuk bunga di samping tikungan yang menyala bergantian, hijau, kuning, merah. Ada lampu besar dengan tiang sangat tinggi yang menyorot ke taman, ada pula lampu berwarna temaram yang semakin menggumpalkan kesenduan.
Tiga puluh tahun bukan waktu yang sebentar. Terlalu banyak hal terjadi pada mereka dan sekian lama masing-masing memendam untuk diri sendiri. Mestinya pertemuan sore itu adalah untuk berbagi cerita bukan justru bertengkar kemudian saling diam. Atau mungkin karena perpisahan yang terlalu panjang, keduanya tak tahu apa yang harus diceritakan terlebih dahulu.
Mungkin memang begitu, karena senyatanya Reyna ingin berkata, beberapa tahun setelah perpisahan mereka ia masih juga mencari kabar tentang Mozes. Hingga suatu hari, satu setengah tahun setelah mereka tidak bersama seorang teman mengabarkan bahwa Mozes pulang ke Jakarta. Tak lama setelah itu, ia mendengar Mozes tengah melanglang buana. Buana yang mana, entah. Reyna merasa tidak perlu lagi mencari tahu keberadaan laki-laki itu. Meski tak jarang bayangan Mozes tiba-tiba membangunkan tidurnya atau menyergap ingatannya begitu Braham mulai menjamah tubuhnya dan membuat Reyna kesakitan tak terkira.
Terdengar Mozes menghela napas. Panjang. Perlahan gumpalan kemarahan yang menyesaki dada Reyna mereda. Namun hasrat untuk terus ngobrol telah tak ada. Maka sisa pertemuan itu pun berlalu begitu saja. Kebekuan masih mengental di antara keduanya. Hingga Reyna minta diri, dan beranjak pergi.
Hari-hari setelah kejadian itu, Reyna tak pernah tampak di depan Vredeburg lagi. Tetapi Mozes masih sering terlihat di salah satu bangku kayu di sana. Sendiri di tengah orang-orang muda yang tengah bercanda dan bercinta. Menghisap rokok kreteknya. Sesekali mengibaskan rambut putihnya yang panjang, tersapu angin menutup wajah tirusnya.
Begitu perasaan Reyna membaik dan siap bertemu Mozes lagi, ia kembali pada rutinitasnya, menunggu senja jatuh di Vredeburg. Namun ia harus menelan kecewa karena Mozes tak dijumpainya. Bahkan telepon genggamnya tak bisa dihubungi.
Suatu sore, di tengah keputusasaan Reyna, seorang teman mendatangi dan mengulurkan sebuah surat kepadanya. Surat dari Mozes!
"Hari-hari itu dia mencoba menghubungimu, tetapi HP-mu tak pernah aktif," kata laki-laki itu. "Ginjalnya tak berfungsi, serangan jantungnya kambuh, tekanan darahnya tidak stabil…"
Reyna tak bisa mendengar lagi penjelasan laki-laki itu. Bahkan ketika si teman menyerahkan satu dos buku dan tas berisi kamera warisan kekayaan Mozes untuknya, Reyna belum kembali pada kesadarannya.
Senja beranjak renta. Seperti Reyna merasai dirinya. Sepasang remaja di sebelahnya telah pergi. Begitu juga sekumpulan anak muda yang nongkrong di atas motor mereka, mulai menghidupkan mesin kendaraannya. Sisa adzan sayup terdengar dari Masjid Besar. Sebaris kalimat di surat terakhir Mozes meluncur dalam gumaman.
…maghrib begitu deras, ada yang terhempas, tapi ada goresan yang tak akan terkelupas.*
Langit Menggelap di Vredeburg
Cerpen Sulialine Adelia
Beginilah menjelang senja di jantung kota. Sekelompok remaja nongkrong di atas motor model terbaru mereka sambil ngobrol dan tertawa-tawa. Ada juga remaja atau mereka yang beranjak dewasa duduk berdua-dua, di bangku semen, di atas sadel motor, atau di trotoar. Anak-anak kecil berlarian sambil disuapi orang tuanya. Pengamen yang beristirahat setelah seharian bekerja. Dan orang gila yang tidur di sisi pagar.
Di salah satu bangku kayu panjang, bersisihan dengan remaja yang sedang bermesraan, Reyna duduk menghadap ke jalan. Hanya duduk. Mengamati kendaraan atau orang-orang yang melintas. Menunggu senja rebah di hamparan kota.
Tiba-tiba laki-laki itu sudah berada di depannya sambil mengulurkan tangan. "Apa kabar?" katanya memperlihatkan giginya yang kekuningan. Asap rokok telah menindas warna putihnya.
"Kamu di sini?" Reyna tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Segala rasa berpendaran dalam hatinya. Senang, sendu, haru, pilu, yang kesemuanya membuat Reyna ingin menjatuhkan dirinya dalam peluk lelaki itu.
Begitu juga Mozes, lelaki tua yang berdiri di depan Reyna. Dadanya bergemuruh hebat mendapati perempuan itu di depan matanya. Ingin ia memeluk, menciumi perempuan itu seperti dulu, tetapi tak juga dilakukannya.
Hingga Reyna kembali menguasai perasaannya, lalu menggeser duduknya memberi tempat Mozes di sebelahnya.
"Kaget?" tanya Mozes, duduk di sebelah Reyna.
Reyna tertawa kecil.
"Gimana?" tanya Reyna tak jelas arahnya. "Lama sekali nggak ketemu."
"Iya. Berapa tahun ya? Dua lima, tiga puluh?"
"Tiga puluh tahun!" jawab Reyna pasti.
"Ouw! Tiga puluh tahun. Dan kamu masih semanis dulu."
"Terima kasih," Reyna tersenyum geli. Masih ’semanis dulu’. Bukankah itu lucu? Kalaupun masih tampak cantik atau manis itu pasti tinggal sisanya saja. Kecantikan yang telah terbalut keriput di seluruh tubuhnya. Tapi kalimat itu tak urung membuat Reyna tersipu. Merasa bangga, tersanjung karenanya.
"Kapan datang?" tanya Reyna. Mulai berani lagi menatap mata lelaki di sebelahnya.
"Belum seminggu," jawab Mozes.
"Mencariku?" Reyna tersenyum. Sisa genitnya di masa muda.
Mozes tertawa berderai-derai. Lalu katanya pelan, "Aku turut berduka atas meninggalnya suamimu," tawanya menghilang.
Reyna tak menjawab sepatah pun. Bahkan ucapan terima kasih tidak juga meluncur dari bibirnya. Ia menerawang ke kejauhan. Detik berikutnya mata Reyna tampak berlinangan. Goresan luka di sudut hatinya kembali terkoyak. Rasa perih perlahan datang. Luka lama itu ternyata tak pernah mampu disembuhkannya. Semula ia menduga luka itu telah pulih, tetapi sore ini, ketika Mozes tiba-tiba muncul di hadapannya ia sadar luka itu masih ada. Tertoreh dalam di sudut perasaannya.
Reyna dan Mozes. Mozes pekerja film yang bukan saja terampil, tetapi juga cerdas dan kritis. Reyna pengelola media sebuah perusahaan terkemuka. Mereka bertemu karena Reyna harus membuat sebuah film sebagai media pencitraan perusahaannya. Reyna yang istri dan ibu seorang anak, dan Mozes yang duda. Dua orang muda yang masih segar, bersemangat, dan menawan. Dua orang yang kemudian saling jatuh cinta.
Reyna hampir saja meninggalkan Braham ketika itu. Ibu muda Reyna merasa menemukan sampan kecil untuk berlabuh. Meninggalkan malam-malamnya yang kelam bersama Braham. Pergi mengikuti aliran sungai kecil yang akan mengantarnya ke dermaga damai tanpa ketakutan, tanpa kesakitan. Berdua Mozes.
Tetapi sampan kecil itu ternyata begitu ringkih. Ia tak mampu menyangga beban berdua. Ia hanya ingin sesekali singgah, bermesra dan bercinta tanpa harus mengangkutnya. Mozes tak menginginkan ikatan apa pun antara dirinya dan Reyna. Ia ingin tetap bebas pergi ke mana pun ia ingin dan kembali kapan ia rindu. Kebebasan yang tak bisa Reyna terima. Maka sebelum perjalanan dimulai, ia memutuskan undur diri. Perempuan itu menyadari, bukan laki-laki seperti Mozes yang ia ingini untuk membebaskan dari derita malam-malamnya. Mozes berbeda dengan dirinya yang membutuhkan teman seperjalanan, ia hanya mencari ruang untuk membuang kepedihan dan mencari hiburan. Tak lebih.
"Berapa lama kamu akan tinggal?" tanya Reyna setelah gejolak perasaannya mereda.
"Entah. Mungkin sebulan, dua bulan, atau mungkin sepanjang sisa umurku," jawab Mozes, tanpa senyum, tanpa memandang Reyna. "Banyak hal yang memberati pikiran dan tak bisa kuceritakan pada siapa pun selama ini."
"Itu sebabnya kamu kemari?"
"Jakarta semakin sesak dan panas. Sementara Jogja masih tetap nyaman buat berkarya. Jadi kuputuskan kembali," lanjut Mozes tanpa mengacuhkan pertanyaan Reyna. "Begitu kembali seseorang bilang padaku, kamu sering di sini sore hari."
"Maka kamu mencariku. Berharap mengulang lagi hubungan dulu."
Mozes menggeleng.
"Atau membangun hubungan baru."
Mozes menggeleng lagi, "Tidak juga. Aku tidak butuh hubungan seperti itu. Aku hanya butuh teman ngobrol…"
"Teman bermesra, teman bercinta yang bisa kamu datangi dan kamu tinggal pergi. Tanpa tuntutan, tanpa ikatan!" potong Reyna. "Itu hubungan yang sejak dulu kamu inginkan bersamaku kan? Seperti sudah kubilang dulu, aku tidak bisa. Aku sudah memilih."
Kebekuan kembali merejam perasaan kedua orang tua itu. Langit perlahan kehilangan warna jingga. Satu per satu lampu di sekeliling mulai menyala. Ada rangkaian lampu-lampu kecil berbentuk bunga di samping tikungan yang menyala bergantian, hijau, kuning, merah. Ada lampu besar dengan tiang sangat tinggi yang menyorot ke taman, ada pula lampu berwarna temaram yang semakin menggumpalkan kesenduan.
Tiga puluh tahun bukan waktu yang sebentar. Terlalu banyak hal terjadi pada mereka dan sekian lama masing-masing memendam untuk diri sendiri. Mestinya pertemuan sore itu adalah untuk berbagi cerita bukan justru bertengkar kemudian saling diam. Atau mungkin karena perpisahan yang terlalu panjang, keduanya tak tahu apa yang harus diceritakan terlebih dahulu.
Mungkin memang begitu, karena senyatanya Reyna ingin berkata, beberapa tahun setelah perpisahan mereka ia masih juga mencari kabar tentang Mozes. Hingga suatu hari, satu setengah tahun setelah mereka tidak bersama seorang teman mengabarkan bahwa Mozes pulang ke Jakarta. Tak lama setelah itu, ia mendengar Mozes tengah melanglang buana. Buana yang mana, entah. Reyna merasa tidak perlu lagi mencari tahu keberadaan laki-laki itu. Meski tak jarang bayangan Mozes tiba-tiba membangunkan tidurnya atau menyergap ingatannya begitu Braham mulai menjamah tubuhnya dan membuat Reyna kesakitan tak terkira.
Terdengar Mozes menghela napas. Panjang. Perlahan gumpalan kemarahan yang menyesaki dada Reyna mereda. Namun hasrat untuk terus ngobrol telah tak ada. Maka sisa pertemuan itu pun berlalu begitu saja. Kebekuan masih mengental di antara keduanya. Hingga Reyna minta diri, dan beranjak pergi.
Hari-hari setelah kejadian itu, Reyna tak pernah tampak di depan Vredeburg lagi. Tetapi Mozes masih sering terlihat di salah satu bangku kayu di sana. Sendiri di tengah orang-orang muda yang tengah bercanda dan bercinta. Menghisap rokok kreteknya. Sesekali mengibaskan rambut putihnya yang panjang, tersapu angin menutup wajah tirusnya.
Begitu perasaan Reyna membaik dan siap bertemu Mozes lagi, ia kembali pada rutinitasnya, menunggu senja jatuh di Vredeburg. Namun ia harus menelan kecewa karena Mozes tak dijumpainya. Bahkan telepon genggamnya tak bisa dihubungi.
Suatu sore, di tengah keputusasaan Reyna, seorang teman mendatangi dan mengulurkan sebuah surat kepadanya. Surat dari Mozes!
"Hari-hari itu dia mencoba menghubungimu, tetapi HP-mu tak pernah aktif," kata laki-laki itu. "Ginjalnya tak berfungsi, serangan jantungnya kambuh, tekanan darahnya tidak stabil…"
Reyna tak bisa mendengar lagi penjelasan laki-laki itu. Bahkan ketika si teman menyerahkan satu dos buku dan tas berisi kamera warisan kekayaan Mozes untuknya, Reyna belum kembali pada kesadarannya.
Senja beranjak renta. Seperti Reyna merasai dirinya. Sepasang remaja di sebelahnya telah pergi. Begitu juga sekumpulan anak muda yang nongkrong di atas motor mereka, mulai menghidupkan mesin kendaraannya. Sisa adzan sayup terdengar dari Masjid Besar. Sebaris kalimat di surat terakhir Mozes meluncur dalam gumaman.
…maghrib begitu deras, ada yang terhempas, tapi ada goresan yang tak akan terkelupas.*
08.07
Tandjung ririh, kaya pengrawit cilik
Written By Harian Semarang on Sabtu, 05 November 2011 | 08.07
DI zaman sekarang sepertinya tidak banyak warga yang mencintai karawitan. Apalagi anak muda. Kebanyakan dari mereka lebih menyukai musik modern alias musik dari barat. Tapi tidak bagi siswa Sekolah Dasar (SD) Negeri Gisikdrono 03, Semarang Barat. Di bawah nama grup karawitan Tandjung Ririh inilah mereka sengkuyung, gojeg sekaligus hikmat dalam memainkan tetabuhan gamelan.
Mereka dikenalkan betapa pentingnya mencintai kebudayaan Jawa sejak pendidikan dasar. Tak heran jika di tengah gegap gempita modernisasi, sebenarnya SD Negeri Gisikdrono 03 tersebut justru kaya waranggana dan wiraswara cilik.
Belajar kesenian daerah bernama karawitan, tentu bukan perkara mudah. Namun juga bukan hal yang tidak mungkin, jika anak-anak terlihat pandai bermain musik gamelan. Tentu ini butuh kerja keras dalam upaya melestarikan budaya Jawa yang konon adiluhung itu. Di sanggar minimalis bentukan guru inilah, terlihat puluhan siswa dari berbagai kelas. Mereka tampak sumringah berlatih kesenian karawitan tanpa lelah.
“Kami berlatih seminggu dua kali, yakni Kamis dan Jum’at Sore,” ujar Kepala Sekolah SD Negeri Gisikdrono 03 Sutari selaku pembina karawitan Tandjung Ririh, didampingi sang pelatih, Mariyanto, kemarin.
Rutinitas ini tergolong langka dan unik. Pasalnya, seni karawitan selama ini lebih dikenal dan dimainkan oleh kalangan orang dewasa atau orang tua. Bahkan cenderung dijauhi oleh anak muda. Namun di SD Gisikdrono 03 nyaris semua siswa mahir memainkan dan menabuh alat musik dari bahan logam dan kayu tersebut. Mereka sangat antusias dan sangat menikmati permainan musik khas Jawa ini.
“Kami berusaha mengenalkan dari awal, dan benar-benar dari nol. Mulai mengenalkan not angka dan cara membacanya,” terang Mariyanto.
Lebih lanjut dijelaskannya, setelah not angka terpampang di partitur, kemudian mereka berlatih membacanya.“Tidak hanya itu, sebelumnya kami mengenalkan nama masing-masing alat dan bagaimana cara membunyikannya. Meski kadang merasa keculitan membaca not karena tingkat kesulitan setiap hari bertahap dan semakin meningkat. Namun mereka tetap berlatih memelajari budaya bangsa yang sangat indah ini,” tambahnya.
Jangan Sampai Luntur
Pihak sekolah sengaja mengenalkan seni karawitan ini dari awal. Hal ini sebagai upaya untuk melestarikan budaya bangsa yang mulai luntur peminatnya terlebih di kalangan anak muda. Dikatakan Mariyanto, sejak dari awal berdirinya grup karawitan Tandjung Ririh pada 2000, ia baru mempunyai alat gamelan lengkap sejak 2008.
“Seni karawitan memang diperlukan alat musik yang cukup banyak. Di antaranya bonang barung, bonang panerus, kenong, kempul, kethuk, saron, gambang, gender, gong, rebab, gender, siter, demung, peking, kendang dan suling,” katanya.
Semua alat tersebut harus dimainkan secara harmonis, indah dan rancak. Kata Mariyanto, para penabuh gamelan dalam seni karawitan biasa disebut pengrawit, sedangkan penyanyi perempuan disebut waranggana dan yang laki-laki disebut wiraswara. Karena pesertanya masih anak-anak, maka dapat disebut, pengrawit cilik dan waranggana cilik.
Cengkok Jawa Sulit
Dalam proses penggarapan, Mariyanto mengaku, dalam menata komposisi grup yang terdiri 21 personel itu paling sulit adalah menata vokal. Cengkok lagu Jawa mempunyi tingkat kesulitan yang tinggi daripada lagu-lagu pop sekarang. Tekhnik vokal dari cengkok lagu Jawa butuh proses panjang mengolahnya. “Apalagi di sekolah ini masa aktif siswa hanya 3 tahun, yakni sejak kelas 3 hingga kelas 5 saja. Kelas 6 sudah inten jelang ujian. Begitu personel keluar, kita mencari bibit lagi,” katanya.
Namun yang lebih cepat, kata dia, adalah pengenalan alat terlebih dahulu. “Siswa dikenalkan masing-masing alat berikut cara memukulnya. Kemudian mengenalkan nada slendro maupun pelog. Jika slendro tidak ada angka 7 dan 4. Namun jika pelog sebaliknya ada angka 7 dan angka 4,” jelas pria alumni IKIP PGRI ini.
Sutari menimpali, lahirnya grup karawitan Tandjung Ririh ini merupakan angin segar untuk melestarikan kesenian dan kebudayaan Jawa. Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan membentuk karakter bangsa timur yang sopan dan menghindarkan anak-anak dari pengaruh buruk teknologi modern.
"Semarang terkenal kota yang panas dan kota berkembang. Di mana modernisasi terus melaju bersama peradaban. Maka sebagai benteng kepada generasi muda adalah mengajarkan seni karawitan ini yang sertamerta memelajari tata cara dan karakter bangsa dalam kehidupan sehari-hari yang lembut," terang Sutari.
Karena itu, keberadaan anak-anak ini harus terus dibina agar budaya bangsa tidak punah. Apalagi, siswa-siswi SD ini juga sering tampil pada pertunjukan ketoprak di hari-hari penting nasional di lingkungan sekolah mereka maupun beberapa undangan pentas partisipan. Tentu ini merupakan potensi yang luar biasa bagi Kota Semarang, meski kata dia belum pernah mendapat anggaran dalam pelaksanaan pendidikan kebudayaan ini. (abdul mughis/rif)
Mereka dikenalkan betapa pentingnya mencintai kebudayaan Jawa sejak pendidikan dasar. Tak heran jika di tengah gegap gempita modernisasi, sebenarnya SD Negeri Gisikdrono 03 tersebut justru kaya waranggana dan wiraswara cilik.
Belajar kesenian daerah bernama karawitan, tentu bukan perkara mudah. Namun juga bukan hal yang tidak mungkin, jika anak-anak terlihat pandai bermain musik gamelan. Tentu ini butuh kerja keras dalam upaya melestarikan budaya Jawa yang konon adiluhung itu. Di sanggar minimalis bentukan guru inilah, terlihat puluhan siswa dari berbagai kelas. Mereka tampak sumringah berlatih kesenian karawitan tanpa lelah.
“Kami berlatih seminggu dua kali, yakni Kamis dan Jum’at Sore,” ujar Kepala Sekolah SD Negeri Gisikdrono 03 Sutari selaku pembina karawitan Tandjung Ririh, didampingi sang pelatih, Mariyanto, kemarin.
Rutinitas ini tergolong langka dan unik. Pasalnya, seni karawitan selama ini lebih dikenal dan dimainkan oleh kalangan orang dewasa atau orang tua. Bahkan cenderung dijauhi oleh anak muda. Namun di SD Gisikdrono 03 nyaris semua siswa mahir memainkan dan menabuh alat musik dari bahan logam dan kayu tersebut. Mereka sangat antusias dan sangat menikmati permainan musik khas Jawa ini.
“Kami berusaha mengenalkan dari awal, dan benar-benar dari nol. Mulai mengenalkan not angka dan cara membacanya,” terang Mariyanto.
Lebih lanjut dijelaskannya, setelah not angka terpampang di partitur, kemudian mereka berlatih membacanya.“Tidak hanya itu, sebelumnya kami mengenalkan nama masing-masing alat dan bagaimana cara membunyikannya. Meski kadang merasa keculitan membaca not karena tingkat kesulitan setiap hari bertahap dan semakin meningkat. Namun mereka tetap berlatih memelajari budaya bangsa yang sangat indah ini,” tambahnya.
Jangan Sampai Luntur
Pihak sekolah sengaja mengenalkan seni karawitan ini dari awal. Hal ini sebagai upaya untuk melestarikan budaya bangsa yang mulai luntur peminatnya terlebih di kalangan anak muda. Dikatakan Mariyanto, sejak dari awal berdirinya grup karawitan Tandjung Ririh pada 2000, ia baru mempunyai alat gamelan lengkap sejak 2008.
“Seni karawitan memang diperlukan alat musik yang cukup banyak. Di antaranya bonang barung, bonang panerus, kenong, kempul, kethuk, saron, gambang, gender, gong, rebab, gender, siter, demung, peking, kendang dan suling,” katanya.
Semua alat tersebut harus dimainkan secara harmonis, indah dan rancak. Kata Mariyanto, para penabuh gamelan dalam seni karawitan biasa disebut pengrawit, sedangkan penyanyi perempuan disebut waranggana dan yang laki-laki disebut wiraswara. Karena pesertanya masih anak-anak, maka dapat disebut, pengrawit cilik dan waranggana cilik.
Cengkok Jawa Sulit
Dalam proses penggarapan, Mariyanto mengaku, dalam menata komposisi grup yang terdiri 21 personel itu paling sulit adalah menata vokal. Cengkok lagu Jawa mempunyi tingkat kesulitan yang tinggi daripada lagu-lagu pop sekarang. Tekhnik vokal dari cengkok lagu Jawa butuh proses panjang mengolahnya. “Apalagi di sekolah ini masa aktif siswa hanya 3 tahun, yakni sejak kelas 3 hingga kelas 5 saja. Kelas 6 sudah inten jelang ujian. Begitu personel keluar, kita mencari bibit lagi,” katanya.
Namun yang lebih cepat, kata dia, adalah pengenalan alat terlebih dahulu. “Siswa dikenalkan masing-masing alat berikut cara memukulnya. Kemudian mengenalkan nada slendro maupun pelog. Jika slendro tidak ada angka 7 dan 4. Namun jika pelog sebaliknya ada angka 7 dan angka 4,” jelas pria alumni IKIP PGRI ini.
Sutari menimpali, lahirnya grup karawitan Tandjung Ririh ini merupakan angin segar untuk melestarikan kesenian dan kebudayaan Jawa. Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan membentuk karakter bangsa timur yang sopan dan menghindarkan anak-anak dari pengaruh buruk teknologi modern.
"Semarang terkenal kota yang panas dan kota berkembang. Di mana modernisasi terus melaju bersama peradaban. Maka sebagai benteng kepada generasi muda adalah mengajarkan seni karawitan ini yang sertamerta memelajari tata cara dan karakter bangsa dalam kehidupan sehari-hari yang lembut," terang Sutari.
Karena itu, keberadaan anak-anak ini harus terus dibina agar budaya bangsa tidak punah. Apalagi, siswa-siswi SD ini juga sering tampil pada pertunjukan ketoprak di hari-hari penting nasional di lingkungan sekolah mereka maupun beberapa undangan pentas partisipan. Tentu ini merupakan potensi yang luar biasa bagi Kota Semarang, meski kata dia belum pernah mendapat anggaran dalam pelaksanaan pendidikan kebudayaan ini. (abdul mughis/rif)
08.03
Kisah cinta seorang wartawan
Judul : Belahan Jiwa
Penulis : Rosihan Anwar
Penerbit : Kompas
Terbit : I, April 2011
Tebal : 234 halaman
Harga : Rp. 48.000
Di antara puluhan buku maupun kumpulan tulisan yang pernah ditulisnya, Belahan Jiwa adalah buku yang paling memperlihatkan sisi romantis Rosihan Anwar. Buktinya, kata-kata seperti "sayang", "cinta" dan "salam manis" untuk Zuraida Sanawi, istrinya, bertebaran dalam buku ini.
Rosihan mengenal Ida, begitu panggilan akrab Zuraida, ketika keduanya bekerja di surat kabar Asia Raja. Awalnya hubungan mereka sebatas menyangkut pekerjaan. Tetapi garis tangan telah membawa mereka pada hubungan cinta.
Menurut Rosihan, keseriusannya membina hubungan dengan Ida tidak terlalu mulus. Pasalnya, ibu Ida mempertanyakan kesiapan Ida menerima Rosihan yang kala itu bekerja "hanya" sebagai wartawan.
Rosihan mahfum dengan pendapat calon mertuanya itu. Ia yakin, kebimbangan itu bukan didasarkan pada ketidaksukaan terhadap Rosihan, namun karena ia ingin Ida hidup bahagia. Ini wajar, sebab secara finansial, profesi wartawan saat itu tidaklah menjanjikan.
Dalam sebuah suratnya Ida menegaskan bahwa ia mau menerima Rosihan. Ia tahu benar konsekuensi-konsekuensi menjadi istri wartawan. Namun, dalam pandangan Ida, Rosihan adalah wartawan yang istimewa, itu alasannya ia mau menjadi istrinya.
Dalam buku ini memang dilampirkan sejumlah surat yang menunjukkan bagaimana korespondensi Ida dengan Rosihan. Kata-kata cinta yang sederhana plus cerita lain mengenai sahabat, kerabat dan lingkungan kerja, adalah ciri-ciri surat yang ditulis mereka.
Menariknya, dalam buku ini Rosihan tidak semata mengisahkan perjalanan cintanya, namun juga menuliskan sejumlah peristiwa sejarah. Inilah yang agak sulit untuk dihindari oleh Rosihan yang "berdarah" wartawan itu.
Dalam buku ini misalnya, Rosihan menuliskan peristiwa di kediaman AH Nasution pada saat terjadi G30S tahun 1965. Hal ini diceritakannya karena ia melihat sendiri kejadian tersebut secara “live”. Untuk diketahui, kediaman Rosihan kala itu berada di depan rumah AH Nasution. Baru keesokan harinya ia mengetahui secara lengkap apa yang sebenarnya telah terjadi.
Buku ini disusun oleh Rosihan setelah Ida tutup usia pada 5 September 2010. Dari buku ini terlihat bagaimana terpukulnya Rosihan setelah Ida meninggal dunia.
Bahkan anggota keluarga Rosihan harus berkali-kali memperingatkannya untuk tidak terus-menerus tenggelam dalam duka. Life must go on, begitu selalu disampaikan oleh anak-anaknya kepada Rosihan.
Lalu apa yang mendorong Rosihan menuliskan memoar ini. Bagi Rosihan menuliskan memoar adalah sebuah permohonan maaf sekaligus koreksi atas kesalahannya kepada Ida di masa lalu.
Seingat Rosihan, stres, tekanan pekerjaan, ancaman breidel, hingga situasi politik yang tidak menentu, kerap membuat dirinya ogah bicara kepada Ida. Ini yang diselali Rosihan. Tetapi Ida tidak melakukan protes, sebaliknya ia diam dan mengurus pekerjaan rumah seperti biasa. Itulah ekspresi cinta Ida yang besar terhadap Rosihan.
Buku ini bagaikan sebuah epilog dalam perjalanan hidup Rosihan. Sebuah epilog tentang cinta dan kesetiaan. Di sini Rosihan telah menyampaikannya dengan sangat indah. ***
Penulis : Rosihan Anwar
Penerbit : Kompas
Terbit : I, April 2011
Tebal : 234 halaman
Harga : Rp. 48.000
Di antara puluhan buku maupun kumpulan tulisan yang pernah ditulisnya, Belahan Jiwa adalah buku yang paling memperlihatkan sisi romantis Rosihan Anwar. Buktinya, kata-kata seperti "sayang", "cinta" dan "salam manis" untuk Zuraida Sanawi, istrinya, bertebaran dalam buku ini.
Rosihan mengenal Ida, begitu panggilan akrab Zuraida, ketika keduanya bekerja di surat kabar Asia Raja. Awalnya hubungan mereka sebatas menyangkut pekerjaan. Tetapi garis tangan telah membawa mereka pada hubungan cinta.
Menurut Rosihan, keseriusannya membina hubungan dengan Ida tidak terlalu mulus. Pasalnya, ibu Ida mempertanyakan kesiapan Ida menerima Rosihan yang kala itu bekerja "hanya" sebagai wartawan.
Rosihan mahfum dengan pendapat calon mertuanya itu. Ia yakin, kebimbangan itu bukan didasarkan pada ketidaksukaan terhadap Rosihan, namun karena ia ingin Ida hidup bahagia. Ini wajar, sebab secara finansial, profesi wartawan saat itu tidaklah menjanjikan.
Dalam sebuah suratnya Ida menegaskan bahwa ia mau menerima Rosihan. Ia tahu benar konsekuensi-konsekuensi menjadi istri wartawan. Namun, dalam pandangan Ida, Rosihan adalah wartawan yang istimewa, itu alasannya ia mau menjadi istrinya.
Dalam buku ini memang dilampirkan sejumlah surat yang menunjukkan bagaimana korespondensi Ida dengan Rosihan. Kata-kata cinta yang sederhana plus cerita lain mengenai sahabat, kerabat dan lingkungan kerja, adalah ciri-ciri surat yang ditulis mereka.
Menariknya, dalam buku ini Rosihan tidak semata mengisahkan perjalanan cintanya, namun juga menuliskan sejumlah peristiwa sejarah. Inilah yang agak sulit untuk dihindari oleh Rosihan yang "berdarah" wartawan itu.
Dalam buku ini misalnya, Rosihan menuliskan peristiwa di kediaman AH Nasution pada saat terjadi G30S tahun 1965. Hal ini diceritakannya karena ia melihat sendiri kejadian tersebut secara “live”. Untuk diketahui, kediaman Rosihan kala itu berada di depan rumah AH Nasution. Baru keesokan harinya ia mengetahui secara lengkap apa yang sebenarnya telah terjadi.
Buku ini disusun oleh Rosihan setelah Ida tutup usia pada 5 September 2010. Dari buku ini terlihat bagaimana terpukulnya Rosihan setelah Ida meninggal dunia.
Bahkan anggota keluarga Rosihan harus berkali-kali memperingatkannya untuk tidak terus-menerus tenggelam dalam duka. Life must go on, begitu selalu disampaikan oleh anak-anaknya kepada Rosihan.
Lalu apa yang mendorong Rosihan menuliskan memoar ini. Bagi Rosihan menuliskan memoar adalah sebuah permohonan maaf sekaligus koreksi atas kesalahannya kepada Ida di masa lalu.
Seingat Rosihan, stres, tekanan pekerjaan, ancaman breidel, hingga situasi politik yang tidak menentu, kerap membuat dirinya ogah bicara kepada Ida. Ini yang diselali Rosihan. Tetapi Ida tidak melakukan protes, sebaliknya ia diam dan mengurus pekerjaan rumah seperti biasa. Itulah ekspresi cinta Ida yang besar terhadap Rosihan.
Buku ini bagaikan sebuah epilog dalam perjalanan hidup Rosihan. Sebuah epilog tentang cinta dan kesetiaan. Di sini Rosihan telah menyampaikannya dengan sangat indah. ***
07.59
Memeluk Rembulan
Oleh Abdul Mughis
MENIKAH itu kadang seperti melihat pemandangan gunung dari jauh. Terlihat indah memang. Daun-daun hijau di lereng gunung seperti panorama yang agung dan menyegarkan, tapi sekaligus menyesakkan. Betapa tidak, seketika melihat, inginnya memetik bunga edelweiss atau bunga anggrek kantong semar di lereng-lerengnya. Namun seketika sampai di sana ternyata banyak jurang, duri, batu karang hingga tebing yang menganga lebar.
Sungguh tak terbayangkan sebelumnya, keindahan yang semula ada jika tidak hati-hati bisa mendadak berubah menjadi tempat yang berbahaya. Tak terduga sebelumnya jika duri-duri hingga sarang melata ada di sana. Maka sedemikian rupa langkah pun harus pelan-pelan dan waspada. Bahkan jika kaki-kaki salah melangkah bisa jadi terperosok dalam jurang. Namun jika telah sampai di sana, kaki pun tetap harus melangkah dengan hati-hati. Sebab jika berhenti, sama artinya pasrah tanpa perjuangan. Padahal bisa jadi pula itu menanti detik-detik kematian. Ah, merinding jika mengenang kalimat “Qabiltu nikahahaa wa tazwiijahaa bil mahril-mazdkuuri naqdan”.
“Saudara Sinar bin Surya, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Rintik bin Guntur. Dengan maskawin berupa satu buah lukisan, satu buah kitab suci Al-Qur’an dan seperangkat alat sholat, tunai!” bimbing seorang penghulu kala itu.
Sembilan Tahun Lalu
Kalimat itu berlalu. Entah mengapa tiba-tiba kembali hadir dan melintas di ruangan ini. Pada ingatanku sendiri nyaris kusam. Mas Sinar, suamiku, adalah lelaki baik, dan bijaksana. Malam pertama aku benar-benar menikmati segala kasih sayang yang diberikannya. Malam itu kami sangat bahagia, tubuh ini telah menjadi satu, bahkan jiwa-jiwa ini telah melilit lalu menganyam kasih sayang.
Kami hidup dalam kondisi yang tercukupi, karena suamiku bekerja di sebuah perusahaan BUMN. Sementara aku sendiri bekerja sebagai guru swasta di sebuah sekolah swasta. Mobil dan rumah sederhana, ada. Pokoknya apa-apa ada, ingin ini itu juga bisa. Bersyukur sekali jika nikmat hidup saat itu terpenuhi. Toh, barangkali masih banyak saudara-saudaraku lainnya hidup dalam kondisi miskin. Tak jarang keluarga ada yang tak mampu membeli almari, meja atau kursi. Bahkan terparah tak mampu membeli garam, tumbar, bawang, lombok atau pun terasi terasi. Ya, barangkali itu bukan untuk aku.
“Maafkan aku ya dik,” ungkap suamiku saat itu.
“Sudahlah, aku tetap mencintai kamu, Mas ..”
“Meski aku ini mandul?”
“Mas ... ”
“Adakah yang lebih berharga selain anak?” timpal suamiku
Jawaban itu tiba-tiba mengiris bagian terdalam hatiku. Entah mengapa sangat perih.
Lima Tahun Lalu
Biarpun pedih, aku cukup mengerti atas ungkapan suamiku saat itu, jika sampai pada hari ini kami memang belum dikaruniai anak. Sebuah ungkapan pahit, namun aku melihat ketulusan yang terdalam dari suamiku. Jujur, itu yang benar-benar mengusik pikiranku dan suamiku. Beberapa kali aku telah mencoba mengikuti saran sahabat-sahabat dekat untuk pergi ke dokter spesialis kandungan, tapi belum ada hasil. Terapi tradisional hingga paranormal di koran. Semuanya bohong belaka! Dan yang paling pedih adalah ketika pertemuan reuni SMA ku, mereka menyanyikan lagu dangdut kampungan, “Sepuluh tahun sudah kita berumah tangga...” itu.
Aku tahu, sebenarnya mereka hanya menyanyi senang-senang, bukan mempersembahkan untukku. Tetapi aku gampang tersinggung mendengarnya.
Tiga Tahun Lalu
Setiap bangun pagi, sekitar pukul 06.00, aku rutin membuatkan kopi untuk suamiku. Ia membaca koran di beranda. Sebelumnya juga berjamaah sholat subuh bersama. Menjelang pukul tujuh, aku tak canggung membenarkan dasi, menyiapkan tas, kadang menyisir rambutnya, mencium tangan sebelum suami berangkat ke kantor.
Sesibuk apapun aktivitas pekerjaan, Mas Sinar selalu menyempatkan diri berkomunikasi melalui SMS. Bahkan ia tak canggung mengungkapkan “aku sayang kamu”, begitu pun balasku. Apa pun kondisinya, aku selalu senang dan bahagia hidup dengan suamiku. Memakai baju apa pun, putih, hitam, merah, hijau, biru, bagiku ia terlalu tampan.
Suatu siang aku menerima telepon. Lama sekali kami berbicara.
˝Sayang, aku harus melaksanakan tugas kantor di Bandung,˝
”Oya, berapa hari?”
”Seminggu,” jawabnya singkat.
”Ya sudah hati-hati ya Mas. Aku selalu kamu.”
Baru dua hari suami tak di rumah, terasa sepi sekali. Malam menjadi sunyi. Hingga seminggu aku sendirian. Kupandangi lukisan di dinding kamar. Sebuah lukisan abstrak seorang pria dan wanita sedang memeluk rembulan. O ya, itu maskawin dari suamiku. Indah sekali melihatnya. Selain pekerja keras, suamiku punya darah seni. Begitulah aku tak bosan-bosannya mengenang maskawin yang unik itu. Tentu saja, saat aku sedang kesepian karena ditinggalkan suami, tidak lupa membaca Al-Qur’an dan sholat malam dengan seperangkat alat sholat pemberiannya. Benda-benda inilah yang kemudian mewakilinya memeluk jiwaku.
Lantaran suami tak kunjung datang, rasa gelisah pun tetap saja merumah. Bahkan baru kali itu nomer teleponnya saat dihubungi tidak bisa. Hingga delapan hari, sembilan hari, bahkan sepuluh hari. Hal ini seperti tidak mungkin jika urusan kantor hingga berhari-hari. Terlebih ponselnya mati. Menginjak hari kesebelas, aku memutuskan menyusul ke Bandung. Namun belum jadi berangkat, tiba-tiba ponselku berdering.
“Maafkan aku, sekarang aku berada di Australia menyelesaikan tugas dari kantor,”
Aneh, pikirku. Bahkan saat itu suamiku mentrasfer sejumlah uang ke salah satu rekening milikku. Nada suara suamiku saat itu sangat buru-buru sehingga tak sempat bertanya lebih jauh. Bahkan setelah itu nomor juga kembali nonaktif. Itu sebabnya aku menjadi sangat sedih. Pikiranku berbalik lagi, mengapa sampai mengisi rekening segala? Dan beberapa saat setelah aku cek di rekening, ternyata jumlahnya sangat banyak. Aku semakin bertanya-tanya, ini seperti menjadi hal yang misterius. Dan tentu saja aku cemburu.
1 Tahun Lalu
Aku merasa kehilangan suami. Belum usai masalah ini dan belum ada juga ada jawaban pasti, ke mana suami pergi. Bahkan hingga saat itu selalu aku simpan dan kusembunyikan dari segala cecaran pertanyaaan dari tetangga maupun keluargaku.
Aku berusaha tenang meski sebenarnya terasa berat. Meski sebenarnya hari-hariku saat itu seperti telah hancur berkeping-keping. Ya Tuhan, ujian apa lagi yang hendak engkau berikan kepadaku?
4 Bulan Lalu
Tiba-tiba aku mendapat kabar dari teman akrab suamiku, bahwa ia saat ini sedang berada di sel tahanan Rutan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat karena dugaan kasus korupsi. Ah, apalagi ini. Suamiku bukan orang yang seperti itu. Aku tahu persis siapa suamiku. Sembilan tahun aku membina keluarga, dan kini ia mendekam di sel penjara. Ya Tuhan, aku tidak bisa berbuat apa-apa, hanya Engkau yang bisa menjelaskan padaku.
3 Bulan Lalu
Malam itu masih gerimis, aku sengaja mematikan lampu kamar dan sholat malam. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu depan. Seperempat jam kubiarkan, dan belum genap pintu terbuka, terlihat wajah Mas Sinar berdiri di depan pintu.
“Menikahlah denganku lagi,” ungkap suamiku lirih.
Sontak tubuh ini bergetar. Hingga akhirnya di sebuah perkampungan terpencil terjadilah pernikahanku yang kedua.
“Saudara Sinar bin Surya, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Rintik bin Guntur. Dengan maskawin berupa satu buah lukisan, satu buah kitab suci Al-Qur’an dan seperangkat alat sholat, tunai!” pandu naïb dua bulan yang lalu.
Ah…aku masih merinding mendengar kalimat “Qabiltu nikahahaa wa tazwiijahaa bil mahril-mazdkuuri naqdan”.
Saat ini kami hidup sederhana di sebuah rumah bambu. Mas Sinar kini menjadi seorang pengangguran, ia kehilangan pekerjaan, uang dan jabatan. Namun ia kini tersenyum saat menciumi perutku yang berdenyut.
Ngaliyan, 3 Mei 2010
*Cerita ini berdasarkan kisah nyata
------------------
Abdul Mughis
Penulis adalah pegiat seni Semarang, jurnalis, dan pengamat sosial. Kini lulusan IAIN Semarang ini bekerja di Harian Semarang
MENIKAH itu kadang seperti melihat pemandangan gunung dari jauh. Terlihat indah memang. Daun-daun hijau di lereng gunung seperti panorama yang agung dan menyegarkan, tapi sekaligus menyesakkan. Betapa tidak, seketika melihat, inginnya memetik bunga edelweiss atau bunga anggrek kantong semar di lereng-lerengnya. Namun seketika sampai di sana ternyata banyak jurang, duri, batu karang hingga tebing yang menganga lebar.
Sungguh tak terbayangkan sebelumnya, keindahan yang semula ada jika tidak hati-hati bisa mendadak berubah menjadi tempat yang berbahaya. Tak terduga sebelumnya jika duri-duri hingga sarang melata ada di sana. Maka sedemikian rupa langkah pun harus pelan-pelan dan waspada. Bahkan jika kaki-kaki salah melangkah bisa jadi terperosok dalam jurang. Namun jika telah sampai di sana, kaki pun tetap harus melangkah dengan hati-hati. Sebab jika berhenti, sama artinya pasrah tanpa perjuangan. Padahal bisa jadi pula itu menanti detik-detik kematian. Ah, merinding jika mengenang kalimat “Qabiltu nikahahaa wa tazwiijahaa bil mahril-mazdkuuri naqdan”.
“Saudara Sinar bin Surya, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Rintik bin Guntur. Dengan maskawin berupa satu buah lukisan, satu buah kitab suci Al-Qur’an dan seperangkat alat sholat, tunai!” bimbing seorang penghulu kala itu.
Sembilan Tahun Lalu
Kalimat itu berlalu. Entah mengapa tiba-tiba kembali hadir dan melintas di ruangan ini. Pada ingatanku sendiri nyaris kusam. Mas Sinar, suamiku, adalah lelaki baik, dan bijaksana. Malam pertama aku benar-benar menikmati segala kasih sayang yang diberikannya. Malam itu kami sangat bahagia, tubuh ini telah menjadi satu, bahkan jiwa-jiwa ini telah melilit lalu menganyam kasih sayang.
Kami hidup dalam kondisi yang tercukupi, karena suamiku bekerja di sebuah perusahaan BUMN. Sementara aku sendiri bekerja sebagai guru swasta di sebuah sekolah swasta. Mobil dan rumah sederhana, ada. Pokoknya apa-apa ada, ingin ini itu juga bisa. Bersyukur sekali jika nikmat hidup saat itu terpenuhi. Toh, barangkali masih banyak saudara-saudaraku lainnya hidup dalam kondisi miskin. Tak jarang keluarga ada yang tak mampu membeli almari, meja atau kursi. Bahkan terparah tak mampu membeli garam, tumbar, bawang, lombok atau pun terasi terasi. Ya, barangkali itu bukan untuk aku.
“Maafkan aku ya dik,” ungkap suamiku saat itu.
“Sudahlah, aku tetap mencintai kamu, Mas ..”
“Meski aku ini mandul?”
“Mas ... ”
“Adakah yang lebih berharga selain anak?” timpal suamiku
Jawaban itu tiba-tiba mengiris bagian terdalam hatiku. Entah mengapa sangat perih.
Lima Tahun Lalu
Biarpun pedih, aku cukup mengerti atas ungkapan suamiku saat itu, jika sampai pada hari ini kami memang belum dikaruniai anak. Sebuah ungkapan pahit, namun aku melihat ketulusan yang terdalam dari suamiku. Jujur, itu yang benar-benar mengusik pikiranku dan suamiku. Beberapa kali aku telah mencoba mengikuti saran sahabat-sahabat dekat untuk pergi ke dokter spesialis kandungan, tapi belum ada hasil. Terapi tradisional hingga paranormal di koran. Semuanya bohong belaka! Dan yang paling pedih adalah ketika pertemuan reuni SMA ku, mereka menyanyikan lagu dangdut kampungan, “Sepuluh tahun sudah kita berumah tangga...” itu.
Aku tahu, sebenarnya mereka hanya menyanyi senang-senang, bukan mempersembahkan untukku. Tetapi aku gampang tersinggung mendengarnya.
Tiga Tahun Lalu
Setiap bangun pagi, sekitar pukul 06.00, aku rutin membuatkan kopi untuk suamiku. Ia membaca koran di beranda. Sebelumnya juga berjamaah sholat subuh bersama. Menjelang pukul tujuh, aku tak canggung membenarkan dasi, menyiapkan tas, kadang menyisir rambutnya, mencium tangan sebelum suami berangkat ke kantor.
Sesibuk apapun aktivitas pekerjaan, Mas Sinar selalu menyempatkan diri berkomunikasi melalui SMS. Bahkan ia tak canggung mengungkapkan “aku sayang kamu”, begitu pun balasku. Apa pun kondisinya, aku selalu senang dan bahagia hidup dengan suamiku. Memakai baju apa pun, putih, hitam, merah, hijau, biru, bagiku ia terlalu tampan.
Suatu siang aku menerima telepon. Lama sekali kami berbicara.
˝Sayang, aku harus melaksanakan tugas kantor di Bandung,˝
”Oya, berapa hari?”
”Seminggu,” jawabnya singkat.
”Ya sudah hati-hati ya Mas. Aku selalu kamu.”
Baru dua hari suami tak di rumah, terasa sepi sekali. Malam menjadi sunyi. Hingga seminggu aku sendirian. Kupandangi lukisan di dinding kamar. Sebuah lukisan abstrak seorang pria dan wanita sedang memeluk rembulan. O ya, itu maskawin dari suamiku. Indah sekali melihatnya. Selain pekerja keras, suamiku punya darah seni. Begitulah aku tak bosan-bosannya mengenang maskawin yang unik itu. Tentu saja, saat aku sedang kesepian karena ditinggalkan suami, tidak lupa membaca Al-Qur’an dan sholat malam dengan seperangkat alat sholat pemberiannya. Benda-benda inilah yang kemudian mewakilinya memeluk jiwaku.
Lantaran suami tak kunjung datang, rasa gelisah pun tetap saja merumah. Bahkan baru kali itu nomer teleponnya saat dihubungi tidak bisa. Hingga delapan hari, sembilan hari, bahkan sepuluh hari. Hal ini seperti tidak mungkin jika urusan kantor hingga berhari-hari. Terlebih ponselnya mati. Menginjak hari kesebelas, aku memutuskan menyusul ke Bandung. Namun belum jadi berangkat, tiba-tiba ponselku berdering.
“Maafkan aku, sekarang aku berada di Australia menyelesaikan tugas dari kantor,”
Aneh, pikirku. Bahkan saat itu suamiku mentrasfer sejumlah uang ke salah satu rekening milikku. Nada suara suamiku saat itu sangat buru-buru sehingga tak sempat bertanya lebih jauh. Bahkan setelah itu nomor juga kembali nonaktif. Itu sebabnya aku menjadi sangat sedih. Pikiranku berbalik lagi, mengapa sampai mengisi rekening segala? Dan beberapa saat setelah aku cek di rekening, ternyata jumlahnya sangat banyak. Aku semakin bertanya-tanya, ini seperti menjadi hal yang misterius. Dan tentu saja aku cemburu.
1 Tahun Lalu
Aku merasa kehilangan suami. Belum usai masalah ini dan belum ada juga ada jawaban pasti, ke mana suami pergi. Bahkan hingga saat itu selalu aku simpan dan kusembunyikan dari segala cecaran pertanyaaan dari tetangga maupun keluargaku.
Aku berusaha tenang meski sebenarnya terasa berat. Meski sebenarnya hari-hariku saat itu seperti telah hancur berkeping-keping. Ya Tuhan, ujian apa lagi yang hendak engkau berikan kepadaku?
4 Bulan Lalu
Tiba-tiba aku mendapat kabar dari teman akrab suamiku, bahwa ia saat ini sedang berada di sel tahanan Rutan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat karena dugaan kasus korupsi. Ah, apalagi ini. Suamiku bukan orang yang seperti itu. Aku tahu persis siapa suamiku. Sembilan tahun aku membina keluarga, dan kini ia mendekam di sel penjara. Ya Tuhan, aku tidak bisa berbuat apa-apa, hanya Engkau yang bisa menjelaskan padaku.
3 Bulan Lalu
Malam itu masih gerimis, aku sengaja mematikan lampu kamar dan sholat malam. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu depan. Seperempat jam kubiarkan, dan belum genap pintu terbuka, terlihat wajah Mas Sinar berdiri di depan pintu.
“Menikahlah denganku lagi,” ungkap suamiku lirih.
Sontak tubuh ini bergetar. Hingga akhirnya di sebuah perkampungan terpencil terjadilah pernikahanku yang kedua.
“Saudara Sinar bin Surya, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Rintik bin Guntur. Dengan maskawin berupa satu buah lukisan, satu buah kitab suci Al-Qur’an dan seperangkat alat sholat, tunai!” pandu naïb dua bulan yang lalu.
Ah…aku masih merinding mendengar kalimat “Qabiltu nikahahaa wa tazwiijahaa bil mahril-mazdkuuri naqdan”.
Saat ini kami hidup sederhana di sebuah rumah bambu. Mas Sinar kini menjadi seorang pengangguran, ia kehilangan pekerjaan, uang dan jabatan. Namun ia kini tersenyum saat menciumi perutku yang berdenyut.
Ngaliyan, 3 Mei 2010
*Cerita ini berdasarkan kisah nyata
------------------
Abdul Mughis
Penulis adalah pegiat seni Semarang, jurnalis, dan pengamat sosial. Kini lulusan IAIN Semarang ini bekerja di Harian Semarang