Oleh Abdul Mughis
MENIKAH itu kadang seperti melihat pemandangan gunung dari jauh. Terlihat indah memang. Daun-daun hijau di lereng gunung seperti panorama yang agung dan menyegarkan, tapi sekaligus menyesakkan. Betapa tidak, seketika melihat, inginnya memetik bunga edelweiss atau bunga anggrek kantong semar di lereng-lerengnya. Namun seketika sampai di sana ternyata banyak jurang, duri, batu karang hingga tebing yang menganga lebar.
Sungguh tak terbayangkan sebelumnya, keindahan yang semula ada jika tidak hati-hati bisa mendadak berubah menjadi tempat yang berbahaya. Tak terduga sebelumnya jika duri-duri hingga sarang melata ada di sana. Maka sedemikian rupa langkah pun harus pelan-pelan dan waspada. Bahkan jika kaki-kaki salah melangkah bisa jadi terperosok dalam jurang. Namun jika telah sampai di sana, kaki pun tetap harus melangkah dengan hati-hati. Sebab jika berhenti, sama artinya pasrah tanpa perjuangan. Padahal bisa jadi pula itu menanti detik-detik kematian. Ah, merinding jika mengenang kalimat “Qabiltu nikahahaa wa tazwiijahaa bil mahril-mazdkuuri naqdan”.
“Saudara Sinar bin Surya, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Rintik bin Guntur. Dengan maskawin berupa satu buah lukisan, satu buah kitab suci Al-Qur’an dan seperangkat alat sholat, tunai!” bimbing seorang penghulu kala itu.
Sembilan Tahun Lalu
Kalimat itu berlalu. Entah mengapa tiba-tiba kembali hadir dan melintas di ruangan ini. Pada ingatanku sendiri nyaris kusam. Mas Sinar, suamiku, adalah lelaki baik, dan bijaksana. Malam pertama aku benar-benar menikmati segala kasih sayang yang diberikannya. Malam itu kami sangat bahagia, tubuh ini telah menjadi satu, bahkan jiwa-jiwa ini telah melilit lalu menganyam kasih sayang.
Kami hidup dalam kondisi yang tercukupi, karena suamiku bekerja di sebuah perusahaan BUMN. Sementara aku sendiri bekerja sebagai guru swasta di sebuah sekolah swasta. Mobil dan rumah sederhana, ada. Pokoknya apa-apa ada, ingin ini itu juga bisa. Bersyukur sekali jika nikmat hidup saat itu terpenuhi. Toh, barangkali masih banyak saudara-saudaraku lainnya hidup dalam kondisi miskin. Tak jarang keluarga ada yang tak mampu membeli almari, meja atau kursi. Bahkan terparah tak mampu membeli garam, tumbar, bawang, lombok atau pun terasi terasi. Ya, barangkali itu bukan untuk aku.
“Maafkan aku ya dik,” ungkap suamiku saat itu.
“Sudahlah, aku tetap mencintai kamu, Mas ..”
“Meski aku ini mandul?”
“Mas ... ”
“Adakah yang lebih berharga selain anak?” timpal suamiku
Jawaban itu tiba-tiba mengiris bagian terdalam hatiku. Entah mengapa sangat perih.
Lima Tahun Lalu
Biarpun pedih, aku cukup mengerti atas ungkapan suamiku saat itu, jika sampai pada hari ini kami memang belum dikaruniai anak. Sebuah ungkapan pahit, namun aku melihat ketulusan yang terdalam dari suamiku. Jujur, itu yang benar-benar mengusik pikiranku dan suamiku. Beberapa kali aku telah mencoba mengikuti saran sahabat-sahabat dekat untuk pergi ke dokter spesialis kandungan, tapi belum ada hasil. Terapi tradisional hingga paranormal di koran. Semuanya bohong belaka! Dan yang paling pedih adalah ketika pertemuan reuni SMA ku, mereka menyanyikan lagu dangdut kampungan, “Sepuluh tahun sudah kita berumah tangga...” itu.
Aku tahu, sebenarnya mereka hanya menyanyi senang-senang, bukan mempersembahkan untukku. Tetapi aku gampang tersinggung mendengarnya.
Tiga Tahun Lalu
Setiap bangun pagi, sekitar pukul 06.00, aku rutin membuatkan kopi untuk suamiku. Ia membaca koran di beranda. Sebelumnya juga berjamaah sholat subuh bersama. Menjelang pukul tujuh, aku tak canggung membenarkan dasi, menyiapkan tas, kadang menyisir rambutnya, mencium tangan sebelum suami berangkat ke kantor.
Sesibuk apapun aktivitas pekerjaan, Mas Sinar selalu menyempatkan diri berkomunikasi melalui SMS. Bahkan ia tak canggung mengungkapkan “aku sayang kamu”, begitu pun balasku. Apa pun kondisinya, aku selalu senang dan bahagia hidup dengan suamiku. Memakai baju apa pun, putih, hitam, merah, hijau, biru, bagiku ia terlalu tampan.
Suatu siang aku menerima telepon. Lama sekali kami berbicara.
˝Sayang, aku harus melaksanakan tugas kantor di Bandung,˝
”Oya, berapa hari?”
”Seminggu,” jawabnya singkat.
”Ya sudah hati-hati ya Mas. Aku selalu kamu.”
Baru dua hari suami tak di rumah, terasa sepi sekali. Malam menjadi sunyi. Hingga seminggu aku sendirian. Kupandangi lukisan di dinding kamar. Sebuah lukisan abstrak seorang pria dan wanita sedang memeluk rembulan. O ya, itu maskawin dari suamiku. Indah sekali melihatnya. Selain pekerja keras, suamiku punya darah seni. Begitulah aku tak bosan-bosannya mengenang maskawin yang unik itu. Tentu saja, saat aku sedang kesepian karena ditinggalkan suami, tidak lupa membaca Al-Qur’an dan sholat malam dengan seperangkat alat sholat pemberiannya. Benda-benda inilah yang kemudian mewakilinya memeluk jiwaku.
Lantaran suami tak kunjung datang, rasa gelisah pun tetap saja merumah. Bahkan baru kali itu nomer teleponnya saat dihubungi tidak bisa. Hingga delapan hari, sembilan hari, bahkan sepuluh hari. Hal ini seperti tidak mungkin jika urusan kantor hingga berhari-hari. Terlebih ponselnya mati. Menginjak hari kesebelas, aku memutuskan menyusul ke Bandung. Namun belum jadi berangkat, tiba-tiba ponselku berdering.
“Maafkan aku, sekarang aku berada di Australia menyelesaikan tugas dari kantor,”
Aneh, pikirku. Bahkan saat itu suamiku mentrasfer sejumlah uang ke salah satu rekening milikku. Nada suara suamiku saat itu sangat buru-buru sehingga tak sempat bertanya lebih jauh. Bahkan setelah itu nomor juga kembali nonaktif. Itu sebabnya aku menjadi sangat sedih. Pikiranku berbalik lagi, mengapa sampai mengisi rekening segala? Dan beberapa saat setelah aku cek di rekening, ternyata jumlahnya sangat banyak. Aku semakin bertanya-tanya, ini seperti menjadi hal yang misterius. Dan tentu saja aku cemburu.
1 Tahun Lalu
Aku merasa kehilangan suami. Belum usai masalah ini dan belum ada juga ada jawaban pasti, ke mana suami pergi. Bahkan hingga saat itu selalu aku simpan dan kusembunyikan dari segala cecaran pertanyaaan dari tetangga maupun keluargaku.
Aku berusaha tenang meski sebenarnya terasa berat. Meski sebenarnya hari-hariku saat itu seperti telah hancur berkeping-keping. Ya Tuhan, ujian apa lagi yang hendak engkau berikan kepadaku?
4 Bulan Lalu
Tiba-tiba aku mendapat kabar dari teman akrab suamiku, bahwa ia saat ini sedang berada di sel tahanan Rutan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat karena dugaan kasus korupsi. Ah, apalagi ini. Suamiku bukan orang yang seperti itu. Aku tahu persis siapa suamiku. Sembilan tahun aku membina keluarga, dan kini ia mendekam di sel penjara. Ya Tuhan, aku tidak bisa berbuat apa-apa, hanya Engkau yang bisa menjelaskan padaku.
3 Bulan Lalu
Malam itu masih gerimis, aku sengaja mematikan lampu kamar dan sholat malam. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu depan. Seperempat jam kubiarkan, dan belum genap pintu terbuka, terlihat wajah Mas Sinar berdiri di depan pintu.
“Menikahlah denganku lagi,” ungkap suamiku lirih.
Sontak tubuh ini bergetar. Hingga akhirnya di sebuah perkampungan terpencil terjadilah pernikahanku yang kedua.
“Saudara Sinar bin Surya, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Rintik bin Guntur. Dengan maskawin berupa satu buah lukisan, satu buah kitab suci Al-Qur’an dan seperangkat alat sholat, tunai!” pandu naïb dua bulan yang lalu.
Ah…aku masih merinding mendengar kalimat “Qabiltu nikahahaa wa tazwiijahaa bil mahril-mazdkuuri naqdan”.
Saat ini kami hidup sederhana di sebuah rumah bambu. Mas Sinar kini menjadi seorang pengangguran, ia kehilangan pekerjaan, uang dan jabatan. Namun ia kini tersenyum saat menciumi perutku yang berdenyut.
Ngaliyan, 3 Mei 2010
*Cerita ini berdasarkan kisah nyata
------------------
Abdul Mughis
Penulis adalah pegiat seni Semarang, jurnalis, dan pengamat sosial. Kini lulusan IAIN Semarang ini bekerja di Harian Semarang
MENIKAH itu kadang seperti melihat pemandangan gunung dari jauh. Terlihat indah memang. Daun-daun hijau di lereng gunung seperti panorama yang agung dan menyegarkan, tapi sekaligus menyesakkan. Betapa tidak, seketika melihat, inginnya memetik bunga edelweiss atau bunga anggrek kantong semar di lereng-lerengnya. Namun seketika sampai di sana ternyata banyak jurang, duri, batu karang hingga tebing yang menganga lebar.
Sungguh tak terbayangkan sebelumnya, keindahan yang semula ada jika tidak hati-hati bisa mendadak berubah menjadi tempat yang berbahaya. Tak terduga sebelumnya jika duri-duri hingga sarang melata ada di sana. Maka sedemikian rupa langkah pun harus pelan-pelan dan waspada. Bahkan jika kaki-kaki salah melangkah bisa jadi terperosok dalam jurang. Namun jika telah sampai di sana, kaki pun tetap harus melangkah dengan hati-hati. Sebab jika berhenti, sama artinya pasrah tanpa perjuangan. Padahal bisa jadi pula itu menanti detik-detik kematian. Ah, merinding jika mengenang kalimat “Qabiltu nikahahaa wa tazwiijahaa bil mahril-mazdkuuri naqdan”.
“Saudara Sinar bin Surya, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Rintik bin Guntur. Dengan maskawin berupa satu buah lukisan, satu buah kitab suci Al-Qur’an dan seperangkat alat sholat, tunai!” bimbing seorang penghulu kala itu.
Sembilan Tahun Lalu
Kalimat itu berlalu. Entah mengapa tiba-tiba kembali hadir dan melintas di ruangan ini. Pada ingatanku sendiri nyaris kusam. Mas Sinar, suamiku, adalah lelaki baik, dan bijaksana. Malam pertama aku benar-benar menikmati segala kasih sayang yang diberikannya. Malam itu kami sangat bahagia, tubuh ini telah menjadi satu, bahkan jiwa-jiwa ini telah melilit lalu menganyam kasih sayang.
Kami hidup dalam kondisi yang tercukupi, karena suamiku bekerja di sebuah perusahaan BUMN. Sementara aku sendiri bekerja sebagai guru swasta di sebuah sekolah swasta. Mobil dan rumah sederhana, ada. Pokoknya apa-apa ada, ingin ini itu juga bisa. Bersyukur sekali jika nikmat hidup saat itu terpenuhi. Toh, barangkali masih banyak saudara-saudaraku lainnya hidup dalam kondisi miskin. Tak jarang keluarga ada yang tak mampu membeli almari, meja atau kursi. Bahkan terparah tak mampu membeli garam, tumbar, bawang, lombok atau pun terasi terasi. Ya, barangkali itu bukan untuk aku.
“Maafkan aku ya dik,” ungkap suamiku saat itu.
“Sudahlah, aku tetap mencintai kamu, Mas ..”
“Meski aku ini mandul?”
“Mas ... ”
“Adakah yang lebih berharga selain anak?” timpal suamiku
Jawaban itu tiba-tiba mengiris bagian terdalam hatiku. Entah mengapa sangat perih.
Lima Tahun Lalu
Biarpun pedih, aku cukup mengerti atas ungkapan suamiku saat itu, jika sampai pada hari ini kami memang belum dikaruniai anak. Sebuah ungkapan pahit, namun aku melihat ketulusan yang terdalam dari suamiku. Jujur, itu yang benar-benar mengusik pikiranku dan suamiku. Beberapa kali aku telah mencoba mengikuti saran sahabat-sahabat dekat untuk pergi ke dokter spesialis kandungan, tapi belum ada hasil. Terapi tradisional hingga paranormal di koran. Semuanya bohong belaka! Dan yang paling pedih adalah ketika pertemuan reuni SMA ku, mereka menyanyikan lagu dangdut kampungan, “Sepuluh tahun sudah kita berumah tangga...” itu.
Aku tahu, sebenarnya mereka hanya menyanyi senang-senang, bukan mempersembahkan untukku. Tetapi aku gampang tersinggung mendengarnya.
Tiga Tahun Lalu
Setiap bangun pagi, sekitar pukul 06.00, aku rutin membuatkan kopi untuk suamiku. Ia membaca koran di beranda. Sebelumnya juga berjamaah sholat subuh bersama. Menjelang pukul tujuh, aku tak canggung membenarkan dasi, menyiapkan tas, kadang menyisir rambutnya, mencium tangan sebelum suami berangkat ke kantor.
Sesibuk apapun aktivitas pekerjaan, Mas Sinar selalu menyempatkan diri berkomunikasi melalui SMS. Bahkan ia tak canggung mengungkapkan “aku sayang kamu”, begitu pun balasku. Apa pun kondisinya, aku selalu senang dan bahagia hidup dengan suamiku. Memakai baju apa pun, putih, hitam, merah, hijau, biru, bagiku ia terlalu tampan.
Suatu siang aku menerima telepon. Lama sekali kami berbicara.
˝Sayang, aku harus melaksanakan tugas kantor di Bandung,˝
”Oya, berapa hari?”
”Seminggu,” jawabnya singkat.
”Ya sudah hati-hati ya Mas. Aku selalu kamu.”
Baru dua hari suami tak di rumah, terasa sepi sekali. Malam menjadi sunyi. Hingga seminggu aku sendirian. Kupandangi lukisan di dinding kamar. Sebuah lukisan abstrak seorang pria dan wanita sedang memeluk rembulan. O ya, itu maskawin dari suamiku. Indah sekali melihatnya. Selain pekerja keras, suamiku punya darah seni. Begitulah aku tak bosan-bosannya mengenang maskawin yang unik itu. Tentu saja, saat aku sedang kesepian karena ditinggalkan suami, tidak lupa membaca Al-Qur’an dan sholat malam dengan seperangkat alat sholat pemberiannya. Benda-benda inilah yang kemudian mewakilinya memeluk jiwaku.
Lantaran suami tak kunjung datang, rasa gelisah pun tetap saja merumah. Bahkan baru kali itu nomer teleponnya saat dihubungi tidak bisa. Hingga delapan hari, sembilan hari, bahkan sepuluh hari. Hal ini seperti tidak mungkin jika urusan kantor hingga berhari-hari. Terlebih ponselnya mati. Menginjak hari kesebelas, aku memutuskan menyusul ke Bandung. Namun belum jadi berangkat, tiba-tiba ponselku berdering.
“Maafkan aku, sekarang aku berada di Australia menyelesaikan tugas dari kantor,”
Aneh, pikirku. Bahkan saat itu suamiku mentrasfer sejumlah uang ke salah satu rekening milikku. Nada suara suamiku saat itu sangat buru-buru sehingga tak sempat bertanya lebih jauh. Bahkan setelah itu nomor juga kembali nonaktif. Itu sebabnya aku menjadi sangat sedih. Pikiranku berbalik lagi, mengapa sampai mengisi rekening segala? Dan beberapa saat setelah aku cek di rekening, ternyata jumlahnya sangat banyak. Aku semakin bertanya-tanya, ini seperti menjadi hal yang misterius. Dan tentu saja aku cemburu.
1 Tahun Lalu
Aku merasa kehilangan suami. Belum usai masalah ini dan belum ada juga ada jawaban pasti, ke mana suami pergi. Bahkan hingga saat itu selalu aku simpan dan kusembunyikan dari segala cecaran pertanyaaan dari tetangga maupun keluargaku.
Aku berusaha tenang meski sebenarnya terasa berat. Meski sebenarnya hari-hariku saat itu seperti telah hancur berkeping-keping. Ya Tuhan, ujian apa lagi yang hendak engkau berikan kepadaku?
4 Bulan Lalu
Tiba-tiba aku mendapat kabar dari teman akrab suamiku, bahwa ia saat ini sedang berada di sel tahanan Rutan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat karena dugaan kasus korupsi. Ah, apalagi ini. Suamiku bukan orang yang seperti itu. Aku tahu persis siapa suamiku. Sembilan tahun aku membina keluarga, dan kini ia mendekam di sel penjara. Ya Tuhan, aku tidak bisa berbuat apa-apa, hanya Engkau yang bisa menjelaskan padaku.
3 Bulan Lalu
Malam itu masih gerimis, aku sengaja mematikan lampu kamar dan sholat malam. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu depan. Seperempat jam kubiarkan, dan belum genap pintu terbuka, terlihat wajah Mas Sinar berdiri di depan pintu.
“Menikahlah denganku lagi,” ungkap suamiku lirih.
Sontak tubuh ini bergetar. Hingga akhirnya di sebuah perkampungan terpencil terjadilah pernikahanku yang kedua.
“Saudara Sinar bin Surya, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Rintik bin Guntur. Dengan maskawin berupa satu buah lukisan, satu buah kitab suci Al-Qur’an dan seperangkat alat sholat, tunai!” pandu naïb dua bulan yang lalu.
Ah…aku masih merinding mendengar kalimat “Qabiltu nikahahaa wa tazwiijahaa bil mahril-mazdkuuri naqdan”.
Saat ini kami hidup sederhana di sebuah rumah bambu. Mas Sinar kini menjadi seorang pengangguran, ia kehilangan pekerjaan, uang dan jabatan. Namun ia kini tersenyum saat menciumi perutku yang berdenyut.
Ngaliyan, 3 Mei 2010
*Cerita ini berdasarkan kisah nyata
------------------
Abdul Mughis
Penulis adalah pegiat seni Semarang, jurnalis, dan pengamat sosial. Kini lulusan IAIN Semarang ini bekerja di Harian Semarang
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.