Teater adalah sebuah pilihan. Tak semua orang sepakat bahwa teater adalah dunia “bukan gila”. Dan siapa Alfianto yang luruh dalam jagat teater ini?
MENCURAHKAN sebagian besar waktu untuk kesenian bagaimanapun juga bukanlah perkara gampang untuk dilakoni. Modal “suka” saja ternyata belum cukup. Seperti Alfianto, seniman teater yang di lingkungan masyarakat teater semarang akrab dipanggil “Alfi Kumis” ini sejak 1985 sampai sekarang tetap memilih giat, gigih, dan intens berproses karena dalam keyakinannya teater menjadi jalan cinta baginya untuk menyapa sesama.
Tidak dipungkirinya bahwa ia berteater memang awalnya karena rasa suka. Persisnya, ketika masih duduk di bangku kelas 2 SMP, 25 tahun silam, salah seorang guru mapel PSPB (Pelajaran Sejarah dan Perjuangan Bangsa) memberikan tugas sekolah berupa visualisasi peristiwa Rengas Dengklok dalam sebuah pertunjukan melodrama.
“Itu tugas kelompok. Dari situ, saya merasakan bahwa berperan dengan karakter orang lain ternyata asyik,” ceritanya, saat ditemui Harsem di sela kesibukannya sebagai Wakil Seksi Kebersihan PT Plaza Simpang Lima, kemarin (16/9).
Dari situ pula, selanjutnya ia mulai ingin belajar lebih jauh dan bisa memerankan lebih banyak tokoh dan karakter. Namun, karena di sekolahnya, SMP Masehi di Tanah Mas Semarang, saat itu tidak ada ekstrakurikuler drama/teater, maka ia memutuskan bergabung dengan teater kampung.
“Pada tahun-tahun itu, masih banyak teater kampung di Kota Semarang ini. Seperti Teater Bengkel, Lingkar, Aktor Studio, DOM, Cermin, Waktu, dan RAS. Dari masukan dan pertimbangan kakak kelima saya, kemudian saya putuskan bergabung pada Teater Lingkar,” beber pria kelahiran Semarang, 2 Oktober 1967, ini.
Sejak bergabung dengan Teater Lingkar, ia mulai belajar banyak hal tentang dasar-dasar bermain teater, utamanya soal tata artistik yang selama empat tahun pertama bergabung harus digelutinya ketika teater pimpinan Mas Ton ini pentas. “Saya baru mulai memperoleh bagian peran itu ketika ada penggarapan naskah Menunggu Tuyul karya Eko Tunas, 1989, itu saja sebagai pemain pembantu. Begitu pula pada penggarapan-penggarapan selanjutnya,” terangnya.
Kendati hanya mendapatkan peran kecil dan bahkan lebih banyak berada di balik panggung selama berteater bersama Teater Lingkar namun tidak lantas membuat dirinya bosan dan berhenti. Karena seperti telah dipahaminya, peran sekecil apapun seseorang tetap punya peranan penting dalam sebuah pementasan teater. Untuk itu, tetap harus dilakukan dengan baik.
“Bahkan, dari peran-peran kecil dan posisi di balik layar tersebut secara tidak langsung saya bisa mempelajari dan mendapatkan banyak hal tentang teater. Dan hal itu tentunya bagian dari sebuah proses yang harus ditelateni kalau kita memang berharap ada hasil atau pencapaian,” ujarnya
Lebih jauh, ia memahami, bahwa teater sendiri pada dasarnya tidak sebatas seni memainkan peran di atas panggung. Namun, menjadi ranah pembelajaran dirinya menuju pribadi dewasa. Dengan ilmu peran pada teater, ia mengaku, menjadi lebih mampu memahami karakter masing-masing orang di sekitarnya, dan menjadikannya mampu bersikap lebih baik saat bersoalisasi dan bersapa dengan sesama.
Selain masih aktif di Taeter Lingkar, sejak 2003 pria penyuka kopi pahit ini juga aktif berproses dengan berbagai pelaku teater dalam Komunitas Panggung Semarang (Kompas). Dari tangan dinginnya pula telah banyak karya-karya spektakuler yang berhasil dipentaskan hingga ke sejumlah kota di sekitar Semarang. (sokhibun ni’am/rif)
MENCURAHKAN sebagian besar waktu untuk kesenian bagaimanapun juga bukanlah perkara gampang untuk dilakoni. Modal “suka” saja ternyata belum cukup. Seperti Alfianto, seniman teater yang di lingkungan masyarakat teater semarang akrab dipanggil “Alfi Kumis” ini sejak 1985 sampai sekarang tetap memilih giat, gigih, dan intens berproses karena dalam keyakinannya teater menjadi jalan cinta baginya untuk menyapa sesama.
Tidak dipungkirinya bahwa ia berteater memang awalnya karena rasa suka. Persisnya, ketika masih duduk di bangku kelas 2 SMP, 25 tahun silam, salah seorang guru mapel PSPB (Pelajaran Sejarah dan Perjuangan Bangsa) memberikan tugas sekolah berupa visualisasi peristiwa Rengas Dengklok dalam sebuah pertunjukan melodrama.
“Itu tugas kelompok. Dari situ, saya merasakan bahwa berperan dengan karakter orang lain ternyata asyik,” ceritanya, saat ditemui Harsem di sela kesibukannya sebagai Wakil Seksi Kebersihan PT Plaza Simpang Lima, kemarin (16/9).
Dari situ pula, selanjutnya ia mulai ingin belajar lebih jauh dan bisa memerankan lebih banyak tokoh dan karakter. Namun, karena di sekolahnya, SMP Masehi di Tanah Mas Semarang, saat itu tidak ada ekstrakurikuler drama/teater, maka ia memutuskan bergabung dengan teater kampung.
“Pada tahun-tahun itu, masih banyak teater kampung di Kota Semarang ini. Seperti Teater Bengkel, Lingkar, Aktor Studio, DOM, Cermin, Waktu, dan RAS. Dari masukan dan pertimbangan kakak kelima saya, kemudian saya putuskan bergabung pada Teater Lingkar,” beber pria kelahiran Semarang, 2 Oktober 1967, ini.
Sejak bergabung dengan Teater Lingkar, ia mulai belajar banyak hal tentang dasar-dasar bermain teater, utamanya soal tata artistik yang selama empat tahun pertama bergabung harus digelutinya ketika teater pimpinan Mas Ton ini pentas. “Saya baru mulai memperoleh bagian peran itu ketika ada penggarapan naskah Menunggu Tuyul karya Eko Tunas, 1989, itu saja sebagai pemain pembantu. Begitu pula pada penggarapan-penggarapan selanjutnya,” terangnya.
Kendati hanya mendapatkan peran kecil dan bahkan lebih banyak berada di balik panggung selama berteater bersama Teater Lingkar namun tidak lantas membuat dirinya bosan dan berhenti. Karena seperti telah dipahaminya, peran sekecil apapun seseorang tetap punya peranan penting dalam sebuah pementasan teater. Untuk itu, tetap harus dilakukan dengan baik.
“Bahkan, dari peran-peran kecil dan posisi di balik layar tersebut secara tidak langsung saya bisa mempelajari dan mendapatkan banyak hal tentang teater. Dan hal itu tentunya bagian dari sebuah proses yang harus ditelateni kalau kita memang berharap ada hasil atau pencapaian,” ujarnya
Lebih jauh, ia memahami, bahwa teater sendiri pada dasarnya tidak sebatas seni memainkan peran di atas panggung. Namun, menjadi ranah pembelajaran dirinya menuju pribadi dewasa. Dengan ilmu peran pada teater, ia mengaku, menjadi lebih mampu memahami karakter masing-masing orang di sekitarnya, dan menjadikannya mampu bersikap lebih baik saat bersoalisasi dan bersapa dengan sesama.
Selain masih aktif di Taeter Lingkar, sejak 2003 pria penyuka kopi pahit ini juga aktif berproses dengan berbagai pelaku teater dalam Komunitas Panggung Semarang (Kompas). Dari tangan dinginnya pula telah banyak karya-karya spektakuler yang berhasil dipentaskan hingga ke sejumlah kota di sekitar Semarang. (sokhibun ni’am/rif)
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.