Cerpen: Arief Firhanusa
AKU berselancar dalam rute pengkhianatan yang memabukkan setiap kali membayangkan Prabastari melambai cemas. Sesungguhnyalah tak lebih sepuluh menit ia menunggu. Tetapi ia memang kolokan, dan aku tanpa sengaja menciptakannya begitu. Anehnya aku sangat menikmati.
AKU berselancar dalam rute pengkhianatan yang memabukkan setiap kali membayangkan Prabastari melambai cemas. Sesungguhnyalah tak lebih sepuluh menit ia menunggu. Tetapi ia memang kolokan, dan aku tanpa sengaja menciptakannya begitu. Anehnya aku sangat menikmati.
Benar saja. Ia sudah gelisah dan muram. Kuparkir mobil agak jauh. Ia bergerak. Kaki langsatnya melenggang seperti rusa. Dituruninya tangga dengan dahi berkerenyit. Ayunan kakinya mengingatkanku pada Julia Roberts dalam Nothing Hill.
Tampaklah ia mulai menekuk wajah menjelang sampai. Sebuah ekspresi takut kehilangan yang amat kusukai. Biasanya ia cemberut sebentar. Kemudian mulai aleman. Dicubitnya bertubi-tubi pinggangku setengah gemas, dan aku pura-pura menepis sambil merengek minta ampun.
“Mengapa terlambat?” Ia menghambur ke dalam kabin seraya membawa aroma ST Dupon.
“Orang yang mau kutemui punya banyak alasan menghindar. Aku seperti kerbau dungu di lobi kantornya.” Kuatur sedemikian rupa suaraku supaya menimbulkan iba. Perlu sedikit sandiwara untuk melunakkannya.
“Nelpon, dong.”
“Maaf.”
“Lain kali jangan diulangi.”
“Beres, sayang. Ayo dong jangan cemberut.”
Ia pun tersenyum. Benar, bukan, ia tak sanggup bertahan lama dengan ketusnya. Pori-porinya mulai hangat saat lengannya kusentuh. Matanya menyempit. Kunyalakan Hero Mariah Carey yang amat ia sukai.
“Maaf.”
“Lain kali jangan diulangi.”
“Beres, sayang. Ayo dong jangan cemberut.”
Ia pun tersenyum. Benar, bukan, ia tak sanggup bertahan lama dengan ketusnya. Pori-porinya mulai hangat saat lengannya kusentuh. Matanya menyempit. Kunyalakan Hero Mariah Carey yang amat ia sukai.
“Kita langsung pulang?”
“Swalayan Bali.”
“Mau beli apa?” Tanyaku sambil menyembunyikan kekhawatiran.
“Ada guci bagus. Sebulan aku menahan keinginan membelinya.”
“Swalayan Bali.”
“Mau beli apa?” Tanyaku sambil menyembunyikan kekhawatiran.
“Ada guci bagus. Sebulan aku menahan keinginan membelinya.”
Kulirik arloji. Pukul tiga lebih dua puluh menit. Tinggal menyisakan seperempat jam lagi untuk kembali ke tempat tadi, sudut mal, tempat Priarum pada pukul 15.35 melambaikan tangan. Mengisyaratkan penungguan dengan retina mata menyala.
Tetapi kini aku milik Prabastari. Tangannya menggamit lenganku menyeruak toko, mengayun-ayunkan jantungku, tak menggubris kegalauanku memikirkan Priarum.
Ia menyisir petak demi petak rak keramik. Kakinya yang indah berebut pesona melawan guci cina. Sepasang kaki Maryln Monroe yang kutemukan di sela-sela rak baju, suatu siang, ketika aku memilih-milih kemeja.
HARI itu menjelang rapat bulanan. Memimpin meeting tak boleh tampil sembarangan. Ada tujuh anggota dewan komisaris yang menatapku, detik demi detik.
HARI itu menjelang rapat bulanan. Memimpin meeting tak boleh tampil sembarangan. Ada tujuh anggota dewan komisaris yang menatapku, detik demi detik.
Ah, Hismapia pasti memilih duduk paling dekat. Komisaris jelita itu selalu membuatku sesak napas. Tubuhnya padat bak penari balet. Mataku runtuh ke bibirnya yang basah setiap kami berdua mendiskusikan sesuatu. Ia perempuan malang setelah suaminya stroke. Tahukah ia aku amat menginginkannya?
Tetapi, ada baiknya mendengar pesan Warsa, kolegaku di Samarinda. “Jangan sekali-sekali berak di depan pintu!”
“Kalau mencret?” Timpalku.
“Itu perkecualian.”
Kami terpingkal-pingkal. Lelucon yang konyol.
“Kalau mencret?” Timpalku.
“Itu perkecualian.”
Kami terpingkal-pingkal. Lelucon yang konyol.
Tak ada reaksi apapun ketika aku menggeser-geser baju. Gadis itu terus saja menulis sesuatu. Segera kutemukan alasan mencuri perhatiannya, ketika lima menit di sana kami saling membisu.
“Saya harus pilih warna apa untuk jas biru?” Aku menahan debar dan tawa yang saling ingin menyalip. Di kantor aku dikenal sangat pintar mengombinasikan baju. Saat kuliah kawan-kawan perempuan menjadikanku acuan agar pacar-pacar mereka tetap tergila-gila.
“Putih atau biru muda,” katanya tanpa melirik. Matanya tetap jatuh di kertas. Mungkin ia sedang menulis laporan mingguan. Atau keliru hitung omzet. Barangkali lapar atau sakit. Mungkin …
“Banyak putih dan biru muda di sini. Yang mana?” Hahaha… Pertanyaan tolol. Persetan.
“Banyak putih dan biru muda di sini. Yang mana?” Hahaha… Pertanyaan tolol. Persetan.
Cara klasik tetapi butuh kesabaran, seperti kita memancing di arus deras. Ia mendongak setengah kesal. Matanya yang bulat segera melintas. Aku terkesiap mendapati keindahan lain. Tadinya aku mengira cuma kakinya yang mempesona.
“Bapak pernah pakai jas belum?”
Ah, perempuan yang galak. Ucapan yang ketus dan memerahkan telinga. Tetapi perempuan ini melakukan kesalahan pertama. Adrenalinku cepat naik justru ketika menghadapi perempuan macam ini.
Ah, perempuan yang galak. Ucapan yang ketus dan memerahkan telinga. Tetapi perempuan ini melakukan kesalahan pertama. Adrenalinku cepat naik justru ketika menghadapi perempuan macam ini.
“Baiklah kalau keberatan diskusi. Saya pindah sebelah saja,” aku bergerak, seolah angkat kaki. Namun perempuan acap lemah ketika dibenturkan rasa bersalah.
“Tunggu, Pak. Maafkan saya. Bukan berarti saya tak mau memilihkan baju. Sepagian ini saya kesal karena pimpinan marah melulu. Omzet penjualan menurun. Hm, bagaimana kalau biru muda yang ini?”
Pilihan sempurna. Keputusan yang tepat pula. Sebuah awal yang bagus untuk hadir dengan sikap pahlawan. Ia tampak kelelahan. Hanya perlu beberapa tips untuk membuatnya senang. Aku lulusan psikologi dan amat kenyang memimpin bawahan.
Hanya butuh setengah jam melabuhkannya dalam suasana temaram. Pipinya seranum mangga saat terkekeh mendengar joke-joke-ku. Lelucon basi, karena beberapa kali sebelumnya kupakai untuk memikat perempuan lain.
“Jam setengah satu?” Kuulang pertanyaan untuk memastikan kapan kami makan siang. Sesaat tadi binar matanya meremang. Ditraktir makan tentulah surprise. Selain irit, ia akan menemukan hal-hal baru. Cara menawarinya tentu tidak kampungan yang segera bisa ditebak gombalnya.
“Ya, Pak, kami hanya punya tiga puluh menit istirahat.”
“Bagaimana kalau memanggilku Mas saja.”
“Ya, Pak, kami hanya punya tiga puluh menit istirahat.”
“Bagaimana kalau memanggilku Mas saja.”
Ia tersipu. Itu salah satu jurus mautku. Kurasa lebih ampuh dibanding Wiro Sableng rekaan Bastian Tito. Tentu bukan makan siang sembarangan. Ia kugamit masuk restoran Korea, mengajarinya memanasi daging di tungku. Menyuapinya kalau perlu …
Lalu makan malam esoknya. Kujemput ia tepat waktu. Banyak pria gagal merenggut perempuan karena membiarkannya bosan menunggu. Kami menuju restoran sea food paling enak di kota ini. Ia tersenyum senang mengunyah udang saus tiram.
Setelah sekian kali bertemu, aku membuat pori-porinya membara saat iseng kuajari dia memindah persneleng. Persneleng itu bergerak mundur-maju, sesuai kebutuhan, ketika ada sesuatu anggota tubuhku yang juga bergejolak. Mobil kubelokkan ke sebuah hotel, tepat saat aliran darahku tak terkontrol lagi.
___
___
HANDPHONE-nya bertulalit.
“Sudah saya seterika celananya! Tinggal pilih krem atau hitam di lemari gantung! Mengapa mesti menelepon hanya untuk memilih celana?” Prabastari gusar pada seseorang. Tanpa tanya aku tahu itu suaminya. Lebih baik bagiku pura-pura tak mendengar.
“Kita pulang saja,” ajaknya setengah sewot sesaat kemudian.
“Loh?”
“Loh?”
“Aku mengira ibunya pernah mengajari bagaimana menjadi suami yang dewasa. Ternyata belum.” Ia muram. Percikan rumah tangga muda yang secara tak langsung turut kusulut.
Diam-diam aku bersyukur. Sejak tadi aku diliputi cemas membayangkan kehilangan Priarum hanya gara-gara telat menjemput.
Diam-diam aku bersyukur. Sejak tadi aku diliputi cemas membayangkan kehilangan Priarum hanya gara-gara telat menjemput.
Setelah menurunkan Prabastari di mulut gang, kususuri rute tadi. Kudapati Priarum duduk mematung seperti Monalisa tengah dilukis Leonardo da Vinci. Berbeda Prabastari, Priarum lebih tenang. Hanya kuklakson sekali, ia langsung beringsut. Rambutnya yang kelam dipermainkan angin. Ia menuruni anak tangga seperti slow motion Autumn in New York.
“Ke Buccerri sebentar yuk,” ujarnya riang dalam aroma Channel 5 yang meremas.
“Mau beli apa?”
“Ada sepatu bagus. Aku pernah sempat menimangnya tapi belum jadi beli.”
“Mau beli apa?”
“Ada sepatu bagus. Aku pernah sempat menimangnya tapi belum jadi beli.”
Saat Priarum menimang-nimang sepatu dan aku mendekat karena ia meminta pertimbangan, kurasakan cinta yang membara. Ia percaya diri dan sama sekali tak canggung, biar beberapa pasang mata melirik cemburu. Priarum memahami benar bagaimana ia harus berperan sebagai pasangan sempurna. Sesekali, terutama di keramaian, tanpa kuminta ia memanggilku ‘Papa’. Menciptakan kesan perfect sepasang ‘suami istri’ melalui bakat alam ditambah sedikit akting.
Mungkin ini petualangan konyol. Atau barangkali aku memang selalu mujur. Suatu siang ketika menjemput Prabastari makan, iseng aku melongok di kaca di gerai parfum. Perlu sebentar mengayun kaki selagi menunggu Prabastari yang dipanggil supervisornya di kantor mal. Hanya berjarak dua puluh meteran antarkeduanya, tetapi tiap tantangan mempunyai daya tarik tersendiri.
Seraut wajah tiba-tiba menyelonong. Hanya tiga puluh senti dari pipiku. Aku terkejut sebab ketika itu aku sedang sibuk meneliti takaran dan aroma. Ia memamerkan giginya yang putih. Terasa ada yang bergerak mendadak di sela pahaku.
“Itu cocok dipakai Bapak,” cerocos SPG ini tanpa diminta. Ia menunjuk botol mirip pangkal pentungan satpam.
“Sok tahu,” ujarku sekenanya. Menyembunyikan jantung yang berdegup ribut.
“Saya sudah pengalaman,” ucapnya. Lebih tepat bisiknya.
“Hanya soal parfum pengalamanmu itu?” Ahai.
“Tentu banyak lagi.”
“Tolong ceritakan pengalamanmu yang lain.”
“Saya sudah pengalaman,” ucapnya. Lebih tepat bisiknya.
“Hanya soal parfum pengalamanmu itu?” Ahai.
“Tentu banyak lagi.”
“Tolong ceritakan pengalamanmu yang lain.”
Ya, pengalaman apa yang hendak dikisahkan gadis molek sepertinya kalau bukan tarian-tarian penuh getaran? Ia bukan pesulap, tetapi mahir menyihir. Tubuhnya mirip selongsong peluru. Padat penuh amunisi.
Begitulah. Siang-siangku adalah rentetan pendakian. Sibuk menyusun jadwal percumbuan dengan dua SPG satu lantai. Menantang deras angin, seperti ketika kita menaiki jet coaster.
Priarum telah selesai dengan sepatunya. Kusodorkan kartu kredit pada kasir dengan rasa bangga yang terselimut. Kurang ajarnya Priarum sempat mengigit lembut lenganku bagian belakang. Aku memekik kecil di bawah tatapan beberapa pengunjung toko yang gusar.
___
PRABASTARI muncul di layar handphone. Aku sempat menduganya meminta sesuatu, seperti biasa ia menelepon siang bolong sebelum kujemput dari tempat kerja. Dugaanku keliru.
“Aku sudah mengajukan cerai,” ujarnya riang.
Seperti main scramble. Selalu muncul hal tak terduga dari setiap bidikan yang kita lakukan. Prabastari seolah papan scramble itu. Aku mengeluh pendek.
“Mengapa harus cerai?” Bisikku menghindari tatapan curiga Imay, sekretarisku, saat kami berdua makan di Gang-Gang Sulai. Terpaksa aku menyingkir ke teras restoran, biarpun Imay kuyakini tak bakal melotot atau judes. Lima tahun menjadi sekretarisku – dengan fasilitas ekstra – membuatnya seperti lubang kunci yang tak pernah mengeluh.
“Rumah tangga yang payah.”
“Perceraian juga tak menyenangkan.”
“Tak ada jalan lain.”
“Aku tak mau dibilang biangnya.”
“Menurutku Mas penyebabnya.”
“Apa yang kau lakukan setelah cerai?”
“Meminta Mas melamarku. Mas tak mungkin lupa apa yang sudah pernah kita bicarakan.”
Badai kecil runtuh di hatiku. Segera aku panik, tetapi secepat itu pula kuganti dengan suara cerah.
“Itu soal gampang. Namun coba dulu mempertahankan pernikahan.”
“Aku tak bisa berharap hidup dari gaji SPG dan bayaran suamiku yang cuma satpam.”
Nah!
“Kau tahu, aku sudah beristri.”
“Mas pun tahu, aku tak keberatan menjadi istri kedua.”
“Mengapa nekat?”
“Karena aku mencintai Mas.”
Hampir saja aku tersedak.
“Perceraian juga tak menyenangkan.”
“Tak ada jalan lain.”
“Aku tak mau dibilang biangnya.”
“Menurutku Mas penyebabnya.”
“Apa yang kau lakukan setelah cerai?”
“Meminta Mas melamarku. Mas tak mungkin lupa apa yang sudah pernah kita bicarakan.”
Badai kecil runtuh di hatiku. Segera aku panik, tetapi secepat itu pula kuganti dengan suara cerah.
“Itu soal gampang. Namun coba dulu mempertahankan pernikahan.”
“Aku tak bisa berharap hidup dari gaji SPG dan bayaran suamiku yang cuma satpam.”
Nah!
“Kau tahu, aku sudah beristri.”
“Mas pun tahu, aku tak keberatan menjadi istri kedua.”
“Mengapa nekat?”
“Karena aku mencintai Mas.”
Hampir saja aku tersedak.
Kutunda desakan Prabastari dengan sejumlah alasan. Telah lebih empat aku mencincangnya wortel. Tetapi yang kuberikan sudah melampaui batas. Kubelikan adiknya yang SMA sepeda motor, kubuka rekening atas namanya. Kujejali tabungan itu dengan sepuluh juta.
Rasa bersalah kadang saling ingin mendahului dengan gejolak kelelakian. Membawa perempuan kepada situasi sangat pasrah bukankah sudah berlebihan? Bayangkan: “tak masalah menjadi istri kedua”. Mungkin kalau sudah empat istri kumiliki, Prabastari enteng saja bilang tak masalah menjadi istri kelima.
Sesekali ingin melihat bagaimana tampang suaminya. Pemuda lugu dengan muka tirus? Pria dua puluh lima tahun yang kolokan? Lelaki kekar yang berbahaya?
Mungkin baik baginya bercerai, setidaknya terbebas dari istri yang penuh tipu daya. Mungkin pula rugi baginya, terutama bila ia akhirnya tak mendapatkan lagi istri cantik dan membara macam Prabastari.
___
SELANG sepekan kemudian. Priarum mengajakku bergulingan di pantai. Kami lima hari di Yogya. Ia cuti bersamaan ketika aku ada pertemuan penting di luar kota. Perlahan ia menyusupkan retinanya ke rongga mataku saat buih-buih menjilati kaki-kaki kami. Aku mendekatkan bibir ke pipinya yang merona. Angin laut membuat rambutnya saling tindih.
Sesekali ingin melihat bagaimana tampang suaminya. Pemuda lugu dengan muka tirus? Pria dua puluh lima tahun yang kolokan? Lelaki kekar yang berbahaya?
Mungkin baik baginya bercerai, setidaknya terbebas dari istri yang penuh tipu daya. Mungkin pula rugi baginya, terutama bila ia akhirnya tak mendapatkan lagi istri cantik dan membara macam Prabastari.
___
SELANG sepekan kemudian. Priarum mengajakku bergulingan di pantai. Kami lima hari di Yogya. Ia cuti bersamaan ketika aku ada pertemuan penting di luar kota. Perlahan ia menyusupkan retinanya ke rongga mataku saat buih-buih menjilati kaki-kaki kami. Aku mendekatkan bibir ke pipinya yang merona. Angin laut membuat rambutnya saling tindih.
“Sudah waktunya, Mas,” ujarnya sambil menyimak rombongan camar di langit.
“Tunggu beberapa minggu lagi, ya. Ada proyek besar di Surabaya yang harus kuselesaikan.”
“Ibu sudah berulang menanyakan.”
“Coba berikan kesan yang menyenangkan supaya mereka memahami situasi ini.”
“Akan kuusahakan. O iya, Mas, sebagian tabunganku kupakai mengangsur mobil. Ganti, dong.” Ia lantas menciumi bibirku bertubi-tubi. Berkecipak. Hati siapa tak berderak?
Dalam perjalanan pulang, pepohonan berkelebat. Lari menjauh dan kencang. Seperti itulah seharusnya Priarum. Tapi ia madu dalam botol besar. Butuh waktu lama menyereputnya, seloki demi seloki. Gadis-gadis pendahulunya rata-rata hanya bertahan – atau kupertahankan -- sebulan. Setelah rasa manis habis, kutinggal mereka di persimpangan jalan. Waktu bergerak menindasnya, lenyap tanpa bekas, sebagaimana nanti Prabastari dan Priarum juga hanya akan sibuk meneliti langit-langit kamarnya dengan rasa kehilangan yang membuat bantalnya basah.
Tetapi, di luar kebiasaan, keduanya bertahan hingga setahun. Kuteliti mengapa, sampai kusimpulkan aku mencintai mereka. Amat mencintai.
___
DINI hari telah basah. Di kaca jendela berkerumun embun. Lelehan air juga menggenang di beberapa bagian tubuhku, sejam lalu, berbaur dengan peluh di tubuh Prabastari.
___
DINI hari telah basah. Di kaca jendela berkerumun embun. Lelehan air juga menggenang di beberapa bagian tubuhku, sejam lalu, berbaur dengan peluh di tubuh Prabastari.
Saat menuang anggur, kubayangkan dengkur halus Priarum di lantai lain hotel ini. Dua jam lalu, aku pamitan dengannya saat matanya meredup. Kubilang ada urusan penting di luar hotel. Ia mengangguk lelah, lalu menyusup dalam selimut. Lalu pulas dalam sekejap.
Berjingkat-jingkat kuketuk pintu Prabastari di ruang 303. Bidadari ini membukanya sejenak kemudian. Datanglah siluet yang kuangankan. Ia berdiri di tengah kusen, mengenakan baju tidur paling lembut yang pernah ada. Menggariskan lekuk tubuh kenyal dan terawat lewat kehadiran lampu temaram dari dalam ruang. Aku menghambur kesetanan.
Kini Prabastari pun lelap. Kusentuh punggungnya. Bukan membangunkan kelopak perempuannya, melainkan mengingatkan segera pulang. Tak baik menjelang subuh seorang perempuan terhuyung-huyung menyusuri kampung.
Tetapi geliatnya begitu menggoda. Kamar bersuhu 16 derajad mendorong tangannya menangkap lenganku, menyurukku kembali ke bawah selimut. Ia terkekeh kecil saat aku seperti anak kanguru yang menyelinap ke kantong induknya. Anak kanguru yang mudah liar oleh hanya gesekan bulu tangan.
“Sudah fajar.” Aku menepis jemarinya yang liar di bawah selimut.
“Besok libur.”
“Masih banyak waktu.”
“Aku ingin mengulang.”
“Jangan nakal.”
“Aku ingin membuat Mas senang.”
“Bandel.”
“Biar.”
“Akan kubilang suamimu.”
“Si tolol itu lebih senang menetek ibunya.”
“Besok libur.”
“Masih banyak waktu.”
“Aku ingin mengulang.”
“Jangan nakal.”
“Aku ingin membuat Mas senang.”
“Bandel.”
“Biar.”
“Akan kubilang suamimu.”
“Si tolol itu lebih senang menetek ibunya.”
“Mengapa tak menyuruhku menetekmu…”
Ia merenggutku kasar. Baru saja kami hendak bertaut, tiba-tiba handphone-ku menyalak. Bunyi ringtone yang datang hanya dari ponsel Farida, istriku. Segera tanganku menyambar.
Ia merenggutku kasar. Baru saja kami hendak bertaut, tiba-tiba handphone-ku menyalak. Bunyi ringtone yang datang hanya dari ponsel Farida, istriku. Segera tanganku menyambar.
“Kau di mana?” Seketika kukenal suara di ujung sana. Suara seorang pria berwibawa.
“Masih di Surabaya, Pak.” Aku menggigit bibir, menelan kebohongan.
“Segera pulang kalau bisa. Anak keduamu baru saja lahir,” ucap Sumitra, mertuaku yang menelepon itu, setengah memerintah.
“Baik, Pak,” ujarku terbata.
Aku bergegas melompat dari ranjang seperti belalang. Tergesa kurenggut celana dalam. Menarik celana panjang dan kemeja dari gantungan. Melangkah berdebum dan terburu. Laki-laki atau perempuan? Berapa kilo bobotnya? Sehat atau butuh perawatan? Ah, aku akan menjadi ayah untuk kedua, setelah Gilang kini tujuh belas tahun.
Dalam gegas, tengkorakku dipenuhi lengking tangis yang mengalun dari mulut mungil. Segenap pori-poriku bergetar ketika seolah di depan mata perawat bergegas mengelap cairan dan darah, memotong tali pusar, membawa orok ke baskom besar, dikenalkan untuk pertama pada air. Mereka membilas dan mengelap, menyalakan tungku darah dagingku.
Farida tergolek lemah di ranjang, namun seorang dokter membimbingnya tetap siuman. Dokter itu tersenyum teduh. Lalu menyuntik. Ia memuji kehebatan pasiennya melakukan persalinan di usia empat puluh dua.
“Bapak di mana?” Tanya dokter dengan senyum yang masih mengembang.
“Sedang dinas di Surabaya,” jawab Farida dengan suara lemah tetapi mengandung rasa bangga.
Aku terkesiap. Dari kaca kulihat mukaku sepucat mentega. Kalau saja mereka tahu jarak rumah sakit dengan hotel ini tak lebih tiga ratus meter …
Saat mematut-matut, aku terperanjat bukan kepalang. Dari cermin tiba-tiba kulihat seekor serigala. Menyeringai dengan taring menganga saat ia setengah berdiri di tengah ranjang. Mendengus. Menggeram. Moncongnya bergerak-gerak menjulurkan lidah dengan liur menetes. Kutoleh. Hanya Prabastari di atas pembaringan. Ia menatapku dengan mata menguncup setengah tidur.
Aku menghambur keluar. Ingin lekas terbang ke rumah bersalin sekaligus lari menjauh dari kawanan serigala yang bersiap memangsa tulang belulang pria lima puluh tujuh tahun macam diriku … (*)
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.