Home » , , » Pentas sidang susila teater, ketika keadilan dipaksakan

Pentas sidang susila teater, ketika keadilan dipaksakan

Written By Harian Semarang on Sabtu, 05 November 2011 | 06.07



Seni masih tajam untuk menyampaikan kritik terhadap kenyataan yang bengkok atau dibengkokkan. Pentas Teater Sopo Fisip Universitas Negeri Surakarta (UNS) dengan naskah Sidang Susila, karya Agus Noor dan Ayu Utami, di Aula II IAIN Walisongo, Kamis (3/11) malam, pun lugas menyuarakan itu.

Dengan kekonyolan, mereka mengkritisi moral aparat penegak hukum yang kredibilitaskan diragukan.

Sidang Susila bercerita tentang rezim penguasa di sebuah negeri yang berniat menegakkan moral dan susila warganya. Negara lalu menyusun Undang Undang Susila dan Garis-garis Besar Haluan Moral Negara, demi menghapus segala bentuk pornografi dan pornoaksi.

Aparat keamanan pun ditugaskan melakukan penangkapan besar-besaran terhadap orang-orang yang dianggap asusila, tak terkecuali seorang pedagang mainan anak-anak bernama Susila.

Dia ditangkap dan disidangkan karena telah menjual mainan anak-anak berupa balon yang bentuknya dinilai mirip payudara wanita.

Penangkapan Susila itu mengundang pro dan kontra banyak kalangan. Namun, para penegak hukum memilih tutup telinga. Akhirnya Susila tetap harus menjalani persidangan.

“Balon yang dijual Susila bisa meracuni pikiran anak-anak dan masyarakat. Maka dia (Susila) harus dianggap bersalah,” cetus jaksa penuntut umum yang diperankan Joany Twelvia Augusty.

Namun, dengan berbagai dalih, Susila enggan mengakui tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Karena terus ngeyel, konspirasi penguasa pun menugaskan intelijen yang sebelumnya menyamar sebagai penari tayub untuk meracuni Susila, yang tengah mendekam di tahanan.

Namun, karena rasa cintanya pada Susila, sang intelejen yang dipernakan Wury Febrianingrum itu berbalik arah, memilih melepaskan Susila dari jeruji tahanan.

Pertunjukan berdurasi tiga jam itu dibawakan dengan beberapa karakter jenaka para aktor. Dialog-dialognya sarat kritik pedas, namun diucapkan dengan gaya sekenananya oleh sebagian besar aktor, hingga penonton terpingkal-pingkal.

Seperti saat pelaksanaan sidang yang dikonsep tak seperti layaknya sidang pada umumnya. Aksi mbencongi seorang hakim yang dimainkan Agus Irawan terbilang berhasil membangun nuansa komedi, tanpa mengurangi esensi kritik dalam dialog.

Tawa penonton berlanjut saat sang intelejen berhasil membebaskan Susila, yang berbuntut dikeluarkannya status negara dinyatakan dalam keadaan darurat moral, dan proses pengadilan harus berlanjut, meski terdakwa in absentia.

Karena Susila tak bisa dihadirkan, hakim memutuskan kloset di ruang tahanan Susila sebagai terdakwa pengganti. Dan Kloset pun diputuskan bersalah, karena di dalamnya terdapat sidik kotoran Susila.

“Ini adalah salah satu bentuk kepedulian kami dalam menyampaikan aspirasi untuk perubahan ke depan. Ya kalau boleh bicara, pemerintah sering membuat gawean yang tidak jelas, dan endingnya juga samar, plin-plan, seperti RUU Pornografi dan Pornoaksi,” ujar Rudy, usai pementasan.

Secara keseluruhan, menu yang disuguhkan Teater Sopo cukup menarik dan berani. Namun ada beberapa taknis yang terlihat mengganggu pandangan penonton saat menikmati pertunjukan besutan Rudy Gempil ini.
Seperti penataan lighting yang terlalu dekat dengan aktor, dan gedung pementasan yang kurang mendukung pada vokal di beberapa dialog, hingga tak sampai ke telinga penonton. Sokhibul ni’am.wse/ahr

Share this article :

Posting Komentar

Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HARIAN SEMARANG - Ragam - All Rights Reserved
Template Created by Mas Fatoni Published by Tonitok
Proudly powered by Blogger